001 Hak Akses (open/membership) | open |
700 Entri Tambahan Nama Orang | Achmad Fedyani Saifuddin, promotor |
336 Content Type | |
710 Entri Tambahan Badan Korporasi | Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik |
264b Nama Penerbit | Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia |
504 Catatan Bibliografi | |
049 No. Barkod | 07-17-484886938 |
852 Lokasi | Perpustakaan UI, Lantai 3 |
338 Carrier Type | |
590 Cat. Sumber Pengadaan Koleksi | |
903 Stock Opname | |
Tahun Buka Akses | |
053 No. Induk | 07-17-484886938 |
653 Kata Kunci | lanskap budaya; historisitas |
040 Sumber Pengatalogan | |
245 Judul Utama | Lanskap budaya kekuasaan pada masyarakat buton satu kajian mengenai historisitas dan tindakan = Cultural landscape of power in Butonese society a study of historicity and action |
264c Tahun Terbit | 2008 |
650 Subyek Topik | Cultural landscape -- Historicity |
850 Lembaga Pemilik | Universitas Indonesia |
904b Pemeriksa Lembar Kerja | |
520 Ringkasan/Abstrak/Intisari | Di dalam disertasi ini, penulis tertarik untuk memahami bagaimana historisitas mempengaruhi bagaimana berbagai kelompok sosial yang ada dalam satu masyarakat dengan cara yang berbeda-beda memahami berbagai peristiwa dan tindakan yang terjadi di dalam sejarah mereka, dan sekaligus berupaya mengerti bagaimana pemahaman tersebut mempengaruhi mereka dalam mengkonstruksikan kekuasaan yang ada di dalam kehidupan sosial mereka sehari-hari.
Di dalam penelitian terhadap kelompok-kelompok yang ada di pulau Buton, penulis memperlakukan sara sebagai satu bentuk dari historisitas. Esensi dari sara pada dasarnya dipresentasikan di dalam diri sultan. Dengan demikian, sara sangat berkaitan dengan pemahaman akan kekuasaan. Bagi komunitas Wolio yang merupakan kelompok bangsawan di dalam struktur sosial masyarakat di sana, maka sara bisa berfungsi sebagai akumulasi kearifan yang komunitas Wolio ini petik dari sejarahnya. Dan sebagai akumulasi kearifan, yang bermanfaat bagi keberlangsungan hidup mereka, maka sara mentransformasikan dirinya sebagai satu institusi yang penting.
Sara, melalui pengejawantahannya sebagai kesultanan, menginkorporasikan berbagai sumber daya dan unsur kebudayaan masyarakat lain di sekeliling mereka, seperti institusi, struktur, gagasan konsepsual dan bahkan sumber daya manusia. Sultan, dengan demikian, melingkupi ke dalam dirinya dan kesultanannya segala potensi yang ada. Berdasarkan hakekat sara dan sultan serupa itu, maka dapat dipahami apabila kekuasaan kemudian dikonsepsualisasikan lebih sebagai satu proses akumulasi/pertambahan ketimbang satu proses pergantian/penaklukan. Oleh karena karakter melingkupinya semacam itu, maka sara bisa berperan sebagai satu ideologi yang sedikit banyaknya bersifat hegemonik, walaupun sebagai sesuatu yang berlangsung dan terbentuk melalui proses-proses historis dan kultural tertentu, pemaknaan dan kekuatan dominan sara selalu saja mendapatkan perlawanan dan membuatnya tidak pernah bersifat mutlak.
In this research project I am interested in understanding the relationship between historicity and the conception of power in the region of the former sultanate of Wolio. To put it in a more precise way, I seek to understand the multiple ways in which people in the region represent their past, and try to see how an understanding of history can be seen as a source of moral choices which guide social action. Historical and anthropological researches (i.e., participant observation and fieldwork) occupy central methods in my attempt to understand this dialectical relationship between action and history.
The subject of my study will be peoples in the region of the former sultanate of Wolio. In my research project among these peoples on the island of Buton, I treat an indispensable institution called sara as a form of historicity. The essence of sara is represented in Sultan. Sara is therefore closely related to their notion of power. For Wolio community, which constitutes the aristocratic group in the existing social structure on the island, sara is an accumulated wisdoms and lessons that this community learn from their history.
Sara, in its essential embodiment as sultanate, incorporated into itself all other peoples? cultural elements and resourses, such as structures, institutions, conceptual ideas, and even human resources. Sultan was someone who encompassed all the potentials in the region within himself and his kingdom. Based on the nature of sara and sultan as such, it is understandable if power and its legitimacy are conceived more as a process of accumulation rather then as a process of substitution or usurpation. For its? encompassing character, sara may serve, more or less, as a hegemonic ideology in the realm of this sultanate. However, because sara is occurred and formed through cultural and historical processes, its dominant meanings and power are always contested, never totalizing, and always unstable, even when they encourage degrees of subordinate peoples? consent to particular forms of oppression. |
090 No. Panggil Setempat | D00901 |
d-Entri Utama Nama Orang | |
500 Catatan Umum | |
337 Media Type | |
d-Entri Tambahan Nama Orang | |
526 Catatan Informasi Program Studi | Antropologi |
100 Entri Utama Nama Orang | Tony Rudyansjah, author |
264a Kota Terbit | Depok |
300 Deskripsi Fisik | xvi, 252 hlm. ill. ; 29 cm. |
904a Pengisi Lembar Kerja | |
Akses Naskah Ringkas | |
856 Akses dan Lokasi Elektronik | |
246 Judul Alternatif | |
502 Catatan Jenis Karya | Disertasi |
041 Kode Bahasa | ind |