Pada tahun 2005 Indonesia mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) polio. Sebanyak 58,9% kasus KLB nasional terjadi di tiga kabupaten Lebak, Serang dan Sukabumi. Namun, beberapa spesimen tinja kasus lumpuh layu akut (Acute Flaccid Paralysis atau AFP) menunjukkan hasil pemeriksaan negatif virus polio liar (VPL). Tujuan penelitian ialah untuk mengetahui beberapa faktor risiko yang dominan terhadap hasil pemeriksaan negatif VPL. Pada studi potong lintang terhadap semua sampel spesimen yang pertama yang diambil dari kasus AFP selama tahun 2005 dari tiga kabupaten. Data berasal dari Laboratorium Nasional Polio tentang: identitas kasus AFP; tanggal: lumpuh, ambil spesimen, kirim, diterima, dan proses; kondisi diterima dan hasil uji. Di samping itu dilakukan konfirmasi lapangan: data tempat pengambilan spesimen, fasilitas, dan tenaga surveilans. Analisis memakai pendekatan risiko relatif (RR) terhadap hasil pemeriksaan negatif VPL dengan menggunakan regresi Cox. Prevalensi hasil negatif VPL adalah 31,5%. Hasil negatif didapat pada masa awal KLB Februari-April (60%) dan akhir KLB Juli-Desember 2005 (66,2%), sedangkan yang terendah adalah pada bulan Mei-Juni (15,5%). Faktor-faktor yang dominan berkaitan dengan risiko hasil pemeriksaan negatif VPL adalah faktor tidak tepat waktu ambil spesimen, kabupaten asal spesimen, dan periode bulan pengambilan. Keterlambatan pengambilan spesimen mempertinggi risiko hasil pemeriksaan negatif VPL sebesar 70% dibandingkan dengan spesimen yang diambil tepat waktu [risiko relatif suaian (RRa) = 1,70; 95% interval kepercayaan (CI): 1,01 ? 2,88]. Faktor ketidaktepatan waktu pengambilan spesimen, periode awal dan akhir KLB mempunya risiko lebih tinggi terhadap risiko hasil pemeriksaan negatif VPL. Oleh karena itu perlu perhatian khusus terhadap faktor-faktor risiko tersebut. (Med J Indones. 2007;16:122-6).
In 2005, a wild poliovirus (WPV) outbreak occurred in Indonesia. Some stool specimens from acute flaccid paralysis (AFP) subjects, showed negative laboratory results for WPV. The aim of this study was to identify several risk factors associated with negative WPV laboratory results. A cross-sectional study was conducted on all AFP surveillance stool specimens taken from the three districts where 58.9% of the outbreak cases occurred. Data were obtained from Bandung and Jakarta National Polio Laboratory regarding identity of cases; onset of paralysis; data on specimen collected (timing, dispatched, received, and tested); and results of the tests. In addition, field visits were conducted to the three districts for confirmation of data collecting methods, facilities, and field personnel. The Cox regression method for relative risk (RR) was used for analysis. The prevalence of negative results was 31.5%. Negative results at the beginning of the outbreak (February?April) were 60%, at the end of the outbreak (July?December) were 66.2%, and at the height of the outbreak (May?June) were 15.5%. Negative WPV results were related to delayed specimen collection, origin of district specimen, and the period of specimen collection. Delayed versus on-time stool collection increased the risk of negative results by 70% (adjusted relative risk = 1.70; 95% confidence intervals = 1.01 - 2.88). In conclusion, inappropriate timing of specimen collection, in particular during the early and late stages of the polio outbreak, needs special attention to minimize the risk of negative WPV laboratory results. (Med J Indones. 2007;16:122-.