Perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang dengan cepat, tahun 2002 tercatat 4,12 juta ha, dan sekitar 30% dari luas tersebut adalah perkebunan rakyat (smallholder). Peningkatan efisiensi dan nilai tarnbah perkebunan, rakyat diperlukan agar minyak sawit Indonesia lebih kompetitif di pasaran dan pendapatan petani meningkat. Makin luas kebun kelapa sawit makin banyak limbah dihasilkan, baik limbah kebun ataupun limbah dari pabrik minyak sawit. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah tersebut berpotensi mencemari Iingkungan. Limbah dari kebun (gulma, daun dan pelepah sawit) serta limbah dari pabrik (lumpur, serat dan tandan kosong sawit) dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak sapi atau sebagai bahan kompos. Dengan pemanfaatan limbah tersebut maka pendapatan petani akan meningkat dan potensi pencemaran lingkungan akan menurun.
Sebagian besar (99%) produksi ternak Indonesia berasal dari peternakan rakyat. Perkebunan kelapa sawit dapat mendukung peternakan rakyat, yaitu sebagai penyedia pakan yang berasal dari limbah kebun danlatau pabrik minyak sawit. Ternak dapat memanfaatkan gulma yang ada di kebun kelapa sawit sehingga mengurangi penggunaan herbisida dan biaya pengendalian gulma. Kotoran ternak dapat dimanfaatkan sebagai pupuk kandang atau bahan pengomposan bersama limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit sehingga meningkatkan penggunaan pupuk organik dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Dengan pemanfaatan gulma dan kompos, biaya dan potensi pencemaran dari herbisida dan pupuk anorganik menjadi Iebih rendah.
Kecamatan Talo adalah salah satu pusat pengembangan peternakan di Kabupaten Seluma, Bengkulu; tahun 2001 tercatat 2.400 ekor ternak sapi. Di kecamatan ini terdapat perkebunan dan pabrik kelapa sawit milik negara, serta dukungan sistem kemitraan dan bibit subsidi sehingga berkembang perkebunan
kelapa sawit rakyat; tahun 2001 tercatat 1.033 ha. Di tingkat petani, berkembang kepemilikan kebun kelapa sawit dan ternak sapi oleh petani yang sama, yang dalam tulisan ini disebut petani integrasi.
Sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi pada petani di Kecamatan Talo, belum diketahui pola/bentuk integrasi yang diterapkan, keuntungan dari sisi ekonomi dan ekologi, serta perbandingan kualitas kompos dari bahan campuran limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit dan kotoran temak sapi dengan kompos buatan petani.
Hipotesis yang diajukan adalah: 1) Dari sisi ekonomi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi pada petani di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu menguntungkan; 2) Dari sisi ekologi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-peternakan sapi tersebut juga menguntungkan; 3) Kualitas kompos.-dari bahan campuran limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi lebih baik daripada kompos buatan petani. Pembuktian hipotesis menggunakan uji F dan wilayah berganda Duncan dengan α 5%
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan metode survei dan eksperimen. Survei dilakukan pada Bulan Mei-Juni 2004 di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu. Eksperimen dilakukan pada Bulan Juni-September 2004 di halaman dan di dalam rumah kasa milik Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu.
Tujuan survei adalah untuk mengetahui bentuk/pola integrasi, keuntungan integrasi dari sisi ekonomi dan ekologi. Keuntungan dari sisi ekonomi adalah selisih pendapatan dari kebun kelapa sawit antara petani integrasi dan petani non-integrasi, atau selisih pendapatan dari ternak sapi antara petani integrasi dan peternak non-integrasi. Keuntungan dari sisi ekologi adalah selisih jumlah penggunaan pestisida, pupuk anorganik, dan kompos antara petani integrasi dan non-integrasi.
Tujuan eksperimen adalah untuk mengetahui perbandingan kuaiitas antara kompos perlakuan yang diuji dengan kompos petani (kontrol). Juga dilakukan analisis rasio manfaat-biaya (B/C ratio) untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha.
Sampel dalam survei ditentukan secara sengaja dan acak sederhana. Tiga desa dan dua tahun tanam kelapa sawit menghasilkan dengan jumlah petani integrasi terbanyak ditentukan secara sengaja. Sampel dipilih secara acak sederhana dan diambil sebanyak 20% dari populasi target untuk petani integrasi dan non-integrasi, serta 100% (sensus) untuk peternak non-integrasi.
Eksperimen menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 (tiga) ulangan. Ada 2 (dua) tahap eksperimen yaitu pengomposan dan pengujian kompos ke tanaman. Perlakuan yang diuji pada pengomposan adalah: 1) Cempuran
limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan (KP-25); 2) Campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran ternak sapi 50% dari berat bahan (KP-50); 3) Campuran limbah kebun dan kotoran temak sapi 25% dari berat bahan (K-25); 4) Campuran limbah kebun dan kotoran ternak sapi 50% dari berat bahan (K-50); dan 5) Kompos buatan petani (Kontrol).
Pengukuran kualitas kompos meliputi kandungan C organik, N, P, K, Ca dan Mg total serta pengujian ke tanaman. Sebagai tanaman uji digunakan kangkung dengan rancangan acak lengkap, 3 (tiga) ulangan dan 8 (aelapan) tanaman tiap polibag. Tanaman uji diukur pertambahan tinggi mingguan, berat kering tajuk dan akar.
Kesimpulan penelitian adalah: 1) Bentuk/pola integrasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu menyatu dan terpisah antara perkebunan kelapa sawit dan petemakan sapi; 2) Secara ekonomi, penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit-petemakan sapi pada petani di Kecamatan Talo Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu belum menguntungkan, baik ditinjau dari perkebunan kelapa sawit maupun dari petemakan sapi. Peningkatan pendapatan diperoleh hanya dari nilai hasil ternak itu sendiri; 3) Secara ekologi, penerapan integrasi nyata menguntungkan, yang terlihat dari penggunaan pupuk anorganik dan herbisida petani integrasi nyata lebin rendah serta penggunaan pupuk organik nyata lebih tinggi daripada petani non-integrasi. 4) Kualitas kompos perlakuan KP-25 (campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan) lebih baik daripada kompos perlakuan petani dilihat dari kandungan N dan K total; kandungan N dan K total perlakuan KP-25 masing-masing sebesar 1,87% dan 1,81% nyata lebih tinggi daripada perlakuan petani yang masing-masing sebesar 1,47% dan K 1,15%. Kualitas kompos perlakuan K-25, K-50 dan KP50 tidak berbeda dengan kompos perlakuan petani. BIC ratio perlakuan-perlakuan yang diuji kurang dari 1, yang menunjukkan bahwa dari sisi ekonomi tanpa ekologi tidak menguntungkan.
Saran: a) Agar pendapatan meningkat dan potensi pencemaran lingkungan (dari limbah ataupun dari penggunaan masukan-luar) menurun, sebaiknya setiap pengembangan perkebunan kelapa sawit menerapkan integrasi dengan peternakan, misalnya dengan temak sapi; b) Agar penerapan integrasi perkebunan kelapa sawit peternakan sapi pada petani di Kecamatan Tale Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu menguntungkan secara ekonomi maka perlu dilakukan sosialisasi dan pelatihan cara memanfaatkan temak sebagai rekanan (Partnership) untuk kerja di kebun kelapa sawit serta cara pemanfaatan limbah kebun dan/atau pabrik kelapa sawit untuk pakan ternak atau kompos; c) Agar kompos perlakuan KP-25 (campuran limbah kebun dan pabrik kelapa sawit serta kotoran temak sapi 25% dari berat bahan) menguntungkan secara ekonomi, perlu dilakukan kajian lebih mendalam terhadap teknik pengomposan sehingga miurah dan mudah diterapkan petani.
Palm plantation in Indonesia has developed fast, in 2002 there were 4.12 ha, and around 30% of it belonged to smallholders. More efficiency and additional value are needed so that Indonesian palm oil can be more competitive in global market and consequently it will increase the farmers' income. The larger the plantation the more waste it produces: waste from plantation and from the palm oil factory. The waste will pollute the environment if there is no treatment for it. Waste from plantation (weed, palm leaves and stems) and waste from the factory (mud, fiber and empty stems) can be reused as feed for cows or as the materials for compost. This treatment will increase the farmers' income and will decrease pollution.Most (99%) of Indonesia's livestock is produced by farmers. Palm plantation can support the farmers by providing the feed for cattle from its waste. On the other hand, the cattle can eat the weed in the plantation so it will reduce herbicide use and weed management cost. The cattle's dung can be used as fertilizer or as one of the materials in composting along with plantation waste and palm oil factory waste so it will increase organic fertilizer use and decrease inorganic fertilizer use. This system can reduce cost and potential pollution of herbicide and inorganic fertilizer.Talo sub-district is one of the livestock development centers in Seluma residence in the province of Bengkulu; In 2001 there were 2,400 cows in the farm. In this sub-district were state plantation and palm oil factory. With partnership system and subsidized seeds, they developed smallholders palm plantation. In 2001 there were 1,033 ha of smallholders palm plantation. The farmers became integration farmers for they had developed an integrated system: plantation and cow farming.The main topic of this thesis is: a research of the integration system of palm plantation -- cow farming by farmers in Talo sub-district, related to: a) the form/pattern of the applied integration system; b) economical and ecological benefits of the system; and c) quality comparison between compost made of plantation waste and/or palm oil factory and cow dung, and compost made by farmers.The hypothesis is: 1) From economical view, the integration system of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district is beneficial; 2) From ecological view, the integration system of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district is also beneficial; 3) The quality of compost made of plantation waste and/or palm oil factory and cow dung is better than compost made by farmers. The hypothesis would be tested using F test and Duncan double area with a 5 %.The research used qualitative and quantitative approach with survey and experiment methods. The survey was held from May to June 2004 in Talo sub-district, Seluma residence in the province of Bengkulu. The experiment was held from June to September 2004 in the yard and inside the gauze house of Faculty of Agriculture of University of Bengkulu.The objective of the survey is to see the integration form/pattern, the economical and ecological benefits of integration system. The economical benefit is the difference between the income from palm plantation of the integration farmers and that of non-integration farmers, or the difference between the income from cow farming of integration farmers and that of non-integration farmers. The ecological benefit is the difference of the amount used for pesticide, inorganic fertilizer and compost by integration farmers from that of non-integration farmers.The objective of the experiment is to compare the quality of the treated compost and that of farmers' compost (control). Benefit/cost ratio (B/C ratio) -analysis was also conducted to check the business feasibility rate.The samples of the survey were determined in purpose and simple random. Three villages and two years productive plantation with most integration farmers were chosen in purpose. Samples were determined in simple random and were taken of 20% of the target population of integration farmers and non-integration farmers, and 100% (census) of non-integration farmers.The experiment was using complete random plan with three repetitions. There were two steps in the experiment: the composting and the testing of compost on plants. The composting treatments were: 1) Mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 25% of cow dung of material weight (KP-25); 2) Mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 50% of cow dung of material weight (KP-50); 3) Mixture of plantation waste and 25% of cow dung of material weight (K-25); 4) Mixture of plantation waste and 50% of cow dung of material weight (K-25); and 5) Compost made by farmers (control).The measurement of the compost quality includes the total amount of C organic, N, P, K, Ca and Mg and a test to plants. The tester plant was kangkoong with complete random plan, 3 (three) repetition and 8 (eight) plants in each pot. The tester plants were measured to see the weekly height growth and the dry weight of the plants' root and crown.The conclusion of the experiment is: 1) The integration shape/pattern can be defined into 2 general types: the palm plantation and cow farm are integrated and separated; 2) From economical view, the application of the integration of palm plantation-cow farming by farmers in Talo sub-district, Seluma residence, Bengkulu is not beneficial from the palm plantation side or cow farming side. The increase of the income is only from the cattle value; 3) From ecological view, the applied integration is clearly beneficial because the usage of inorganic fertilizer and herbicide by integration farmers is less and the usage of organic fertilizer is higher than non-integration farmers. 4) The quality of compost of KP-25 treatment (the mixture of plantation waste and palm oil factory and 25% cow dung of material weight) is better than that of farmers' considering the amount of total N and K; the amount of total N and K in KP-25 treatment is each 1.87% and 1.81%. It is clearly higher than that pf farmers' which contains 1.47% N and 1.15% K. The quality of compost with K-25, K-50 and KP-50 treatments is not different from farmers' compost. The BIC ratio of tester treatment is less than 1 (one). It shows that from the economical view without ecological view it is not beneficial.Suggestion: a) To increase farmers' income and to reduce pollution (from waste or outside-input use), it is suggested that every palm plantation be integrated with livestock, such as cow farming; b) The integration of palm plantation-cow farming in Talo sub-district, Seluma residence, Bengkulu can be economically beneficial if there are socialization and trainings of how to use cattle in partnership with palm plantation and how to use plantation waste and/or palm oil factory waste as cattle's feed or compost; c) In order to make KP-25 treatment compost (the mixture of plantation waste and palm oil factory waste and 25% cow dung of the material weight) economically beneficial, a deeper study of compost making techniques is needed to make it easier and cheaper to produce.