Kegagalan pengobatan dengan klorokuin dapat disebabkan oleh faktor hospes dan faktor parasit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui absorpsi obat pada hari ke-3 dan kadarnya pada hari rekurens dari penderita malaria falsiparum dan vivaks yang diobati klorokuin.
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni sampai September 2002 di puskesmas Hanura, propinsi Lampung, Indonesia. Enam puluh enam penderita terdiri dari 33 malaria falsigarum dan 33 malaria vivaks diberikan klorokuin dengan dosis standar (25 mg/kgbb, selama 3 hari). Pasien diamati secara klinis dan parasitologi selama 28 hari dan diambil darah pada hari ke-0, 2, 3, 7, 14, 21, 28. Empat puluh sembilan dari 66 penderita malaria mengalami kegagalan pengobatan yaitu 25 penderita malaria falsiparum dan 24 penderita malaria vivaks. Kadar klorokuin diukur dengan HPLC sesuai metode Patchen pada hari ke-0, 3, 28 dan saat terjadi rekurens.
Absorpsi klorokuin (1-13) ditemukan tidak adekuat pada 54,5% (18/33) penderita malaria falsiparum dan 94,4 % (17/18) penderita tersebut mengalami kegagalan pengobatan. Sedangkan dari 51,5% (17/33) penderita malaria vivaks yang absorpsinya in adekuat terclapat 82% (14/17) mengalami kegagalan pengobatan. Hampir seluruh (96%=24/25) penderita malaria falsiparum yang gagal mempunyai kadar klorokuin 2200 ng/ml pada hari rekurens. Sedangkan pada penderita malaria vivaks 79% (19/24) kadar klorokuin darah lebih besar dari 100 ng/ml pada waktu terjadi rekurens.
Penelitian di Lampung Selatan ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa kegagalan pengobatan klorokuin terutama disebabkan oleh absorpsi klorokuin yang inadekuat.
Therapeutic failure with chloroquine thempy of malaria can be caused by hospes and parasite factor. The aim of this study is to know drug absorptions on day-3 and drug levels on recurrent days For falciparum and vivax malaria patiens treated by chloroqune.
The study was conducted during June and September 2002 in Hanura health center, Lampung province, Indonesia. Sixty-six patients consisted of 33 malaria falciparum patients and 33 malaria vivax patients administered supervised standard chloroquine therapy (25 mg/kg, for 3 days) and followed clinically and parasitologically for 28 days. Blood sample of all pateints were taken on day-0, 2, 3, 7, 14, 21 and 28. Forty-nine of 66 patients had therapeutic Failure, consisted of 25 falciparum malaria and 24 vivax malaria patients. Whole blood chloroquine concentrations were measured by HPLC according to method of Patchen on day-0, 3, 28 and on the day of reccurance.
It was found 54,5% (18/33) falciparum malaria patients had inadequate chloroquine absorptions and from those number 94,4% (17/18) patients had therapeutic failure, whereas 51,5% (17/33) vivax malaria patients had inadequate chloroquine absorptions, there were 82% (14/17) had therapeutic failure. Most of the falciparum malaria patients (96%=24/25) who failed had chloroquine level 2200 ngfml on recurrent days, whereas 79% (19/24) vivax malaria patients had chloroquine level 2100 ng/ml on recurrent days.
The result of this study in South Lampung requires further data in order to clarify that chloroquine therapeutic failure is especially caused by inadequate chloroquine absorptions.