Latar Belakang: Media penylaran termasuk ke dalam kelas pengatur. Sesuai premis teori Marx tentang posisi media dalam sistem kapitalisme modern, media massa - khususnya penyiaran - diyakini bukan sekadar bisa berfungsi sebagai medium lalu Iintas pesan antar unsur-unsur sosial dalam masyarakat, melainkan juga beifungsi sebagai alat penundukan dan pemaksaan. ltu sebabnya beragam kelompok kepentingan berusaha memasukkan media penyiaran ke dalam hegemoni kekuasaannya. Jika diidentifikasi, tiga kubu yang bermain bisa dikategorikan ke dalam kubu negara (direpresentasikan pemerintah), pasar (pemodal, pemilik, dan praktisi penyiaran berorientasi kapital), dan masyarakat Madani (aktivis LSM, akademisi, dan publik aktif). Seiring dengan berhembusnya angin demokrasi, esensi ruang media penyiaran yang bermain di ranah publik menimbulkan kesadaran bahwa perlu ada pembaharuan dalam sistem penyiaran, khususnya berkenaan dengan badan regulator yang berwenang menetapkan aturan main dan batasan terhadap penyiaran guna mengembalikan ranah pubiik kepada publik. Setelah sebelumnya didominasi oleh negara, timbul pemikiran untuk membentuk badan regulator nonstruktural yang pada gilirannya melahirkan KPI.
Tujuan: Menyadari terdapatnya benturan-benturan kepentingan berhubungan dengan eksistensi KPI sebagai pengejawaniahan upaya demokratisasi ranah publik, pokok pennasaiahan yang diangkat adalah Iatar beiakang hadlrnya persoalan-persoalan yang dihadapi KPI sebagai badan regulator penyiaran dalam mengukuhkan eisistensinya di sistem formal legal Indonesia, dilihat dari perjalanan historis pembentukan sampai lmplementasinya, Sehingga diperoleh gambaran mengenai apa yang melatari kondisi KPI saat ini dan prediksi kondisinya ke depan.
Metodologi: Tipe penelitian yang dilakukan merupakan tipe penelitian kualitatif dengan unit analisis kelompok berdasarkan paradigma kritis yang mengasumsikan bahwa realitas sosiai bergantung pada kejadian-kejadian dalam sejarah yang diproduksi dan direproduksi oleh kelompok-kelompok kepentingan. Untuk memahami konteks sejarah eksistensi KPI, maka dimanfaatkan desain penelitian multiple case analysis yang secara prinsipil menampilkan replikasi tindakan dan kejadian dalam ruang lingkup pembentukan badan-badan regulator penyiaran sebelum dan selama kehadiran KPI.
Hasil: Gagasan untuk membuat badan regulator penyiaran nonstruktural pada mulanya bersumber pada pemikiran bahwa pemerintah memerlukan bantuan dari sebuah badan komplementer untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Pada perkembangannya, pemikiran ini bergeser pada isu urgensi demokratisasi ranah publik yang terlepas dari dominasi negara maupun pasar yang sama-sama kurang mengindahkan ranah publik sebagai milik publik. Atas dasar itu, KPI ditetapkan independen dan didukung masyarakat madani, tapi mendapat banyak tantangan dari negara dan pasar, khususnya media penyiaran laelevisi nasional.
Pembahasan: Keterkaitan negara, pasar, dan masyarakat madani dalam tatanan dunia penyiaran berdiri pada landasan yang Iabil. Hal ini disebabkan masing-masing kubu memiliki kepentingannya sendiri. Pertentangan yang mengemuka sehubungan dengan eksistensi KPI dari sudut negara adalah penyempitan kekuasaan formal; dan sudut pasar adalah minimalisasi akumulasi profit; masyarakat madani mendukung, tapi perlu diakselerasi partisipasi dan dukungannya terhadap KPI.
Kesimpulan: Sistem ketatanegaraan Indonesia belum dapat mengadopsi dengan baik pembaharuan kelembagaan dalam dunia penyiaran yang direpresentasikan KPI. Persoalannya terletak pada karakteristlk lahiriah dan masing-masing kelompok kepentingan yang belum menemukan jalan tengah untuk menyeimbangkan posisi. Akibatnya, pertentangan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dan terus bersinggungan satu sama Iain dengan mengedepankan tujuan-tujuan kelompok yang ingin diraih. Pada gilirannya, untuk mempertahankan eksistensi KPI, badan terkait perlu meningkatkan kesadaran dan gerakan masyarakat madani tanpa mengabaikan urgensi untuk tetap menjalankan kegialan lobi dan negosiasi damai dengan unsur negara dan pasar.
Background: Broadcasting belongs to the regulating class. In accordance with Marx?s theory on the position of media in the modern system of capitalism, mass media - particularly broadcasting - has been acknowledged not only as a medium of message transfer between social components in the society, but also considered as a tool of domination. This is why various vested interest are attached to it and are trying tio put broadcasting under their hegemonic reign. In concrete, there are three different major groups that can be identilied: The state (mainly represented by the government), market (capital oriented investors, owners, and broadcasting practitioners) and the civil society (NGO activists, scholars, and active public members). Along with the wind of democracy, the essence of the public sphere as the place where broadcasting runs becomes realized that it needs to be reformed, particularly on the subject of regulatory body who is in charge of formulating regulations toward broadcasting. After been dominated by the State, accured ideas on building an auxiliary state agency outside the govermmental structure which in tum gave birth to KPI.Objective: Aware of the interest disputes in connection with ti'|e existence of KPI as a form of democratization of the public sphere, the main problem that wants to be discussed is the problems faced by KPI as a regulating body in proclaiming and legitimating its existence in the Indonesian formal legal system, seen from its historical background, in order to understand the conditions of KPI today and predict its condition in the feature.Metodology : The type of study used in this thesis is qualitative, subjected at group units based on the critical paradigm which assumes that social reality depends on historical events produced and reproduced by interest groups. To understand the historical context of KPI's existence, the writer implements a multiple case analysis that shows replications of attitudes and events in the frame of building broadcasting regulatory body before and while the existence of KPI.Historical Results: Thoughts on creating a nonstructural broadcasting regulatory body at lirst was based on the idea to ease the heavy work- of the govemment. Along the way, the idea was more driven by the isue of democratizing the public sphere in order to release it from state and market domination which has proved themselves for less caring in the public interest. This is why KPI is than formed as an independent institution which is supported by the civil society. At practice, KPI faces various challenges from the State and Market, especially from the national television institutions.Discussion: The relation between the state, market, and civil society stands on a labil ground. This is used by different interests that each group holds. The main dispute related with the existence of KPI from the eyes of the State is about its limitation on reigning broadcasting; from the Markets perspective it is all about profit acummulation; and while the Civil Society support KPI, they have to deal with the other groups.Conclusion: The Indonesian public administration has not yet been able to adopt the institutional reformation held in the broadcasting world which is represented by KPI. The problem lies In the natural characteristic of each interest group that haven't found a middle way to balance their positions. As a result, disputes became unavoidable and keeps conflicting while holding upon targets of the group. In turn, to maintain the existence of KPI, the body itself must actively accelerate the awareness and movement of the civil society without neglecting the importance to continue lobying and peacefully negotiating with the state and the market.