Eksistensi partai dalam perpolitikan di Indonesia kembali muncul setelah kekuasaan Orde Baru runtuh. Selama kurang lebih 5 tahun setelah pemilu 1999 kekuasaan partai politik menjadi demikian besar. Sayangnya, kehadiran partai politik belum sepenuhnya mampu memposisikan diri sebagai institusi politik modem dalam mendorong demokratisasi di Indonesia. Hal itu disebabkan karena parpol sendiri secara intemal gagal menunjukkan dirinya sebagai partai yang demokratis. Keberadaan parpol justru dilanda konflik internal karena pola kepemimpinan yang ditunjukkannya cenderung oligarkis yang mengakibatkan kinerja parpol sangat buruk. Inilah latar belakang penyusunan tesis ini.
Untuk menelusuri kegagalan partai dalam menunjukkan dirinya sebagai partai yang demokratis pasca pemilu 1999, penyusun mengambil fokus pada PDI Pexjuangan dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif-analitik untuk menggambarkan dan menganalisa kepemimpinan oligarki tersebut. Untuk memperoleh secara komprehensif data yang dimaksud maka wawancara mendalam menjadi teknik dalam memperoleh data primer, disamping data-data sekunder lainnya.
Sementara teori yang digunakan dalam penelitian penyusun tesis menggunakan teori partai politik dan oligarki dari Robert Michels. Teori kepemimpinan yang bersandar pada patron-client dan kharismatik juga dideskripsikan dengan seksama dalam karya ini. Dalam penelusuran ini, penulis melihat PDIP cenderung hergerak ke arah kepemimpinan yang oligarkis. Inilah yang membawa performance PDIP ke arena pertarungan ideologi yang konservatif, kepemimpinan karismatik dengan sistem politik ya ng rapuh, dan kepemimpinan politik yang elitis dan birokratis. Dan pada saat yang sama, PDIP diliputi oleh konilik internal yang sangat akut sehingga yang tampak adalah kepentingan pragmatis ekonomi dan kekuasaan ketimbang mengartikulasikan kepentingan rnasyarakat.
Kepemimpinan PDIP yang oligarkis dapat dilihat dari keputusan-keputusan partai, baik yang berkaitan dengan penentuan jabatan di daerah, mutasi dan pemecatan posisi structural di tingkat internal, maupun berkaitan dengan dominasi ketua umum patainya Yang memiliki hak prerogaiif. Misalnya, keputusan PDIP menolak Pansus Buloggate II, mendukung Sutiyoso sebagai Gubernur DKI Jakarta, mendukung Mardijo sebagai Gubernur Jawa Tengah, dan lain-lain. Penulis menemukan bahwa keputusan-keputusan tersebut hanya didominasi segelintir elit DPP DPIP, yang berarti oligarki sebagaimana dikatakan oleh Robert Michels. Akibatnya adalah konflik internal sebagai akibat dari keputusan-keputsan yang seringkali berlawanan dengan aspirasi masyarakat, terutama dengan konstituennya. Kepemimpinan oligarkis ini diperparah oleh hak prerogatif dan pola kepemimpinan yang kharismatik Serta budaya patron-client yang melekat kepada Megawati, sebagai ketua umum partai.
Kepemimpinan kharismatik sebetulnya tidak akan menjadi masalah, bahkan keberadaannya sangat penting jika partai mampu mentransforrnasikan kepemimpinan kharismatik ini menjadi kekuatan partai.
The existence of parties in Indonesian politics reernerges after the power of New Order is down. Approximately 5 years after the 1999 electio, the power of political parties turns to be such powerful. Unfortunately, the presence of political parties is not yet fully to able to place themselves as modern political institutions in encouraging the democratization in Indonesia. This is because the political parties internally fail to be democratic parties. The existence of the political parties indeed is covered with internal conflict as the showed leadership style tends to bé oligarchic that causes poor performance of political parties. This is the background on which this thesis is written.To track the parties failure in demonstrating them selves as democratic parties after the 1999 election, this writer focused on PDI Peljuangan (Indonesian Democratic Party of Struggle) using a descriptive analytical research type. To obtain the comprehensive data, the in-depth interview was employed a the technique in collecting the primary data, in addition to other secondary ones.Meanwhile in this research, the writer in writing this thesis employed the theory of political parties and oligarchy from Robert Michels. The leadership theory which relies on the patron-client and charisma was also described in detail in this work. In this study, the writer saw that PDIP tended to move to oligarchic leadership. It is this condition that leads PDIP performance to have conservative ideological competition, charismatic leadership with poor political system, and elite and bureaucratic political leadership. In the same time, PDIP is covered with internal conflict which is very acute so what come into the surface is pragmatic interest of economy and power rather than public interest articulation.The oligarchic leadership of can be seen in its political decisions, either related with the govemrnent official posts iilling in the regional level, mutation and Bring of structural position in the internal level, or related with general chairman domination that has prerogative rights. For instance, PDIP decide refusing the special committee of buloggateII, Supported Sutiyoso as the governor of DKI Jakarta, support Mardijo as the Governor of central java etc. The writer found that those decisions are dominated by a few elite of central board (DPP) of DPIP, meaning oligarchy as what Robert Michels said. The consequence is the internal conflict as the results of decision which are often against the community aspiration, especially its constituents. This oligarchic leadership is made worse with the prerogative rights and the charismatic leadership and patron-client culture that are inherent with Megawati, the general chairman of the party.The charismatic leadership basically does not matter, even its existence is very important if the party is able to transform this charismatic leadership to be the power of the party.