Karena sifatnya yang strategis, sejak awal sektor pertanian telah menjadi perhatian utama dalam negosiasi perdagangan WTO. Perhatian tersebut diberikan karena selama ini disadari sering terjadi dislorsi perdagangan atas produk-produk pertanian sebagai akibat pemberlakuan kuota impor dan pemberian subsidi domestik maupun subsidi ekspor. Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Bidang Pertanian pasca Putaran Uruguay memuat kesepakatan untuk mengurangi hambatan perdagangan pertanian melalui program reformasi jangka panjang secara bertahap (gradual reform), sehingga tercipta suatu sistem perdagangan hasil pertanian yang adil dan berorientasi kepada pasar (a fair and equitable market-oriented agricultural trading system). AoA juga memuat kewajiban semua anggota untuk membuka pasar dan mengurangi berbagai subsidi/bantuan kepada petani/produsen hasil pertanian yang mengganggu perdagangan internasional.
Jepang sebagai salah satu negara industri maju dan pendiri WTO telah sejak awal merasa keberatan dengan ketentuan mengenai liberalisasi pertanian. Jepang merasa khawatir dengan dibebaskannya tarif atas produk-produk pertanian impor akan mematikan pertanian mereka. Enam tahun setelah Putaran Uruguay, Jepang masih belum melakukan pengurangan subsidi yang signifikan seperti yang telah disepakati, dan hingga saat ini tingkat tarif Jepang masih merupakan salah satu yang tertinggi diantara negara-negara Organization for Economic cooperation and Development (OECD). Salah satu produk pertanian yang paling diproteksi oleh pemerintah Jepang sejak Iama adalah beras. Kombinasi dari akses pasar yang terbatas, tarif yang tinggi, serta dukungan terhadap petani melalui subsidi dan kontrol produksi menyebabkan konsumen Jepang membayar harga beras jauh lebih mahal dibanding negara lain.
Liberalisasi perdagangan diyakini oleh pendukungnya akan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian dunia. Namun Jepang tidak sependapat dengan hal tersebut. Bagi mereka, pertanian mutlak harus dilindungi dan proteksi harus tetap ada.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan upaya Jepang sebagai salah satu negara industri maju dan negara pendiri WTO dalam mempertahankan proteksi sektor pertaniannya, khususnya beras, dalam menghadapi lekanan WTO berkaitan dengan pelaksanaan liberalisasi pertanian. Untuk itu digunakan beberapa konsep yang relevan, yaitu konsep mengenai liberalisasi perdagangan/pertanian dan konsep yang relevan, yaitu konsep mengenai liberalisasi perdagangan/pertanian dan konsep mengenai proteksi. Tesis ini juga menggunakan konsep politik domestik Jepang Untuk memberikan pemahaman mengenai posisi petani dalam pengambilan kebijakan disektor pertanian.
Penelitian yang akan digunakan adalah penelitian eksplanatif yaitu berupaya menjelaskan mengapa jepang tetap mempertahankan proteksi sektor pertanian, khususnya beras, dalam menghadapi tekanan liberalisasi pertanian WTO.