Timor-Leste, bekas "Provincia Ultramarina Portuguesa" (selama kurang-lebih 4 abad) dan kemudian berstatus sebagai Provinsi Indonesia termuda (selama 24 tahun), telah merdeka dan berdaulat sebagai negara millennium Republica Democratica de Timor-Leste tanggal 20 Mei 2002.
UNTAET (1999 - 2002) dan "Governt Centrtal", alias "1o.Governo Constitucional" (2002-2006) memegang kendali pemerintahan di negara itu. Namun hingga tahun 2006 ini, alias tahun terakhir masa bhakti Kabinet Konstitusional I (Pertama), rencana penetapan Sistem Pemerintahan Daerah sebagai "the basic elements of a National Government System" yang diamanatkan dalam Constituirao, Plano Nacional de Desenvolvimento (Rencana Pembangunan Nasional) dan Program Krida Kabinet Konstitusional I, belum terlaksana, meskipun berkali-kali didesak Presiden Xanana Gusmao. Akibatnya, penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan berjalan secara "over-centralized", dengan segala dampaknya, tanpa adanya pertimbangan "continuum" azas sentralisasi (centripetal) dan desentralisasi (centrifugal), sebagaimana Iazimnya dilaksanakan dalam praktek pemerintahan di setiap negara .
Metode penelitian utama yang dipakai adalah metode penelitian deskriptif kualitatif karena berkaitan dengan "facts finding" pada fenomena sosial politik dan administratif. Variabel mandiri yang diteliti adalah Sistem Pemerintahan Daerah di Timor-Leste pasca Kemerdekaan, dengan indikator-indikatornya: komponen dan kegiatan model yang ada (the Existing Model) , dan model yang diharapkan (the Expected Model) . Sesuai landasan teori mengenai konsep model Sistem Pemerintahan Daerah ideal sebagai kerangka berpikir, menganalisis kesenjangan (gap) antara model yang ada dan yang diharapkan .
Hasil temuan adalah bahwa Distrito (dulu : Concelho Municipal dan Kabupaten Daerah Tingkat 11) sebagai pusat ?Governo Local? (the Existing Model) tidak lebih dari sebuah "general governmental area" untuk mendukung pelaksanaan sentralisasi oleh Pemerintah Pusat, karena tidak memenuhi tools: urusan kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan,pengawasan ataupun pelayanan publik. Sedangkan "the expected model (Municipio) telah dikaji sejak tahun 2002 hingga saat ini oleh GTTIM untuk mencari bentuk model ideal sesuai situasi dan kondisi di Timor-Leste. Rancangan Kebijakan "Reforma e Restructurizagao do Governo Local" diajukan kepada Pemerintah untuk memulai proses legislarao tahun 2006 ini.
Analisis terhadap "The Expected Model" adalah Pemerintahan Municipio ?a single tier, and fused hierarchy model", dengan dimensi areal mencakup fusi 2 atau lebih wilayah sub-distrito, dengan elemen Pemerintah Municipal : Assembleia Municipal (Representasi dan Legislatif ) dan Administrador Municipal (Eksekutif) .Instansi-lnstansi Vertikal berperan Banda sebagai dinas-dinas operasional municipal dalam pelayanan publik (dual supervision), dan penyerahan kewenagan sesuai doktrin "ultra vires" dan pembiayaan pelaksanaan otonomi lebih bersandar pada subsidi Pusat, dengan kemungkinan pengembangan kemampuan financial municipios.
Dari hasil analisis, ditemukan hal-hal yang diajukan sebagai kesimpulan dan saran agar model ini dapat diterapkan nanti dengan baik, antara lain : dimensi areal sebaiknya wilayah distrito actual dipilih sebagai wilayah bakal municipio; jumlah municipios yang akan dibentuk sebaiknya 13 (GTTIM mengusulkan 30-31), dengan kemungkinan "proliferaraon bila memenuhi syarat; pemilihan dan bukan penunjukan Administrador Municipal yang tak lebih dari seorang pegawai negeri Assembleia semata; keanggotaan Assembleia yang hanya merupakan representasi dewan desa yang bekerja secara part-timer ; pemilihan Kepala Desa mengulangi kekeliruan di masa lampau; peran Administrador sebagai Wakil Pemerintah (Integrated Prefectoral System), jangka waktu pembentukan municipios bertahap hingga tahun 2015 dipandang terlalu lama; dan "capacity building" perlu dipacu untuk mendukung program Reformasi.