Ramadhan merupakan saat ibadah yang istimewa bagi umat Islam. Keistimewaan ini lantas dirayakan oleh stasiun-stasiun televisi di Indonesia, dengan menghadirkan program-program bemuansa Ramadhan, ketika bulan Ramadhan berlangsung kurang Iebih selama 30 hari. Pertanyaan yang kerap dilontarkan adalah apakah kehadiran program-program tersebut menandakan kesalehan ritual dalam industri televisi kita ketika Ramadhan tiba? Ada 2 wacana yang bertemu ketika Ramadhan tiba disambut gegap gempita oleh televisi. Media massa, sebagai industri yang bergerak dalam pasar bisnis, membawa wacana yang berasal dari wilayah yang relatif sekuler. Sedangkan Ramadhan memiliki esensi nilai yang bersumber dari wacana religius-sebuah domain yang disakralkan. Lantas, bagaimana wacana religius tersebut ditransfer dalam media massa dengan wacana sekuler-nya? Hasilnya adalah program religius yang maknanya dikonstruksi bersama bukan oleh kalangan agamawan sendiri, tetapi Iebih banyak oleh pelaku produksi dan kalangan media.
Mengambil paradigma konstruktivisme, dengan pendekatan kognisi sosial Van Dijk, penelitian ini dilakukan menggunakan metode kualitatif. Penelusuran data maupun analisis dilakukan pada tiga level: level teks dengan mencermati teks-teks program Sahur Ramadhan, level organisasi dengan meneliti mode produksi serta kognisi sosial pembuat program, level societal dengan menganalisis posisi wacana religius di tengah ruang sosial masyarakat dewasa ini, seperti tercermin dari temuan penelitian.
Wawancara untuk mengetahui mode produksi dan skema kognisi sosial dilakukan pada para informan di stasiun televisi yang diteliti (RCTI, TPI, Indosiar, SCTV, Trans TV dan Metro 1V), terdiri dari para produser dan kru yang terlibat secara langsung dalam proses produksi program Sahur Ramadhan. Selain itu, wawancara juga dilakukan terhadap para pengamat media, Amir Siregar dan Ade Armando, untuk mengetahui konteks pemlasalahan dan aspek industri media, dilengkapi dengan wawancara terhadap sejumlah narasumber yang mewakili wacana religius, mulai dari anggota MUI hingga ustadz atau da'i yang terlibat dalam acara-acara tersebut.
Penelitian ini menyimpulkan hasil-hasil sbb. (1) Pada level teks, terlihat kuatnya gejala infotainmentization program-program sahur Ramadhan tayangan entertainment/komedi situasi, yang berujung pada inkonsistensi penyampaian makna substansial Ramadhan; (2) Pada level organisasional, terlihat bahwa gejala infotainmentization ini terlihat pada program dengan mode produksi yang menggunakan tolok ukur sukses program berdasarkan rating dan audience share. Program sahur Ramadhan didominasi oleh komedi dan infotainment karena pendekatan inilah yang disukai masyarakat di saat Ramadhan maupun bukan Ramadhan; (3) Masih di level organisasional, pemetaan skema kognisi sosial memperlihatkan adanya perbedaan memaknai Ramadhan dan fungsi-fungsi media, di antara pihak-pihak yang terlibat secara langsung maupun tak langsung dalam produksi wacana religius di televisi. Makna Ramadhan yang dominan bagi stasiun televisi adalah sebuah momen produksi yang bisa digunakan untuk meraih pemasukan sebesar-besamya. Makna ini didukung oleh sebagian kalangan agamawan yang -apapun dalihnya-bersedia tampil di televisi tanpa mengritisi peran, porsi, maupun substansi wacana religius yang dibawakannya; (4) Pada level societal, gejala infotainmentization program sahur Ramadhan menampakkan kuatnya 'ideologi hiburan' yang dicekokkan kepada pemirsa, bahkan ketika muatan yang akan ditransfer adalah wacana-wacana religius. Dalam konteks sosiokultural yang lebih luas, terlihat bahwa mediasi antara wacana religius dalam raang media komunikasi massa dalam industri budaya saat ini telah memosisikan agama sebagai pihak yang dimarjinalisasikan saat berhadapan dengan stasiun televisi.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa perpindahan wacana religius (maupun wacana lainnya) ke dalam raang media, bukan sekadar persoalan mentransfer pesan. Perpindahan medium pada dasamya adalah sebuah proses mediasi-yaitu transformasi mode komunikasi yang mengandung implikasi-implikasi sosiokultural. Perubahan-perubahan ini berpangkal dari konstruksi dan rekonstruksi makna yang menjadi fokus penelitian ini.
Apa yang diperlihatkan dalam kesimpulan penelitian ini, yaitu konstruksi seputar makna religius (khususnya makna Ramadhan) dalam program-program televisi, memperlihatkan berlakunya paradigma konstruktivisme yang mengasumsikan bahwa realitas tidaklah muncul begitu saja, melainkan dibentuk melalui interaksi di antara para pelaku produksi dalam sebuah konteks tertentu. Interaksi tersebut dapat menghasilkan negosiasi, negasi, bahkan seleksi atas makna-makna-yang -disepakati bersama-dan ini terlihat dari `kerjasama' pekerja media dan sebagian kalangan agamawan selaku para pelaku produksi dalam memproduksi tayangan sahur Ramadhan.
Interaksi yang berlangsung dalam level (konsensus) pemaknaan ini, dalam sejumlah aspek krusial seperti hubungan antar para pelaku produksi, temyata kuat dipengaruhi oleh struktur. Pada banyak situasi, struktur lembaga sangat mempengaruhi dan mengerangka pemaknaan individu selaku agent. Namun, yang menarik, agent juga bisa mempengaruhi struktur ketika kedua entitas ini dapat mencapai konsensus mengenai makna bersama. Lagi-lagi, ini memperlihatkan bahwa realitas merupakan produk konstruksi sosial, dan bukan semata-mata pemaksaan realitas secara sepihak.