Fokus tesis ini adalah mengkaji relevansi pemikiran Imamanuel Wallerstein tentang kapitalisme dalam Teori Sistem Dunia, dengan fenomena kebangkitan politik identitas, partai agama dan negara dalam kapitalisme semi pheripheri Indonesia pasta rezim otoriter. Konsep pemikiran Wallersetein merupakan bagian dari teori-teori ketergantungan dalam melihat relasi negara dunia ketiga terhadap negara maju. Gagasan besar dalam pemikiran ini bahwa sebuah negara tidak bisa melepaskan dari interaksi global. Dinamika global akan mempengaruhi dinamika lokali. Sejauhmana negara pinggiran (dinamika lokal) bisa merespon secara lebih cerdas terhadap dinamika global dan menggunakannya untuk menaikkan statusnya menjadi negara semi pinggiran. Kesalahan dalam merespon dinamika global, hanya akan menyebabkan negara pinggiran terjebak dalam jurang keterbelakangan dan kemiskinan.
Studi kasus yang dirnunculkan adalah fenomena Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Damai Sejahtera (PDS) dalam kasus Blok Cepu. Dipilihnya PKS dan PDS diharapkan bisa menjadi representasi dua identitas politik yang berbeda. Selain itu kedua partai tersebut memiliki relasi politik kekuasaan tidak sama. PKS berada dalam lingkup lingkar kekuasaan atau partai pendukung pemerintahan (inner cycle). Sedangkan PDS adalah partai yang diluar kekuasaan (outsider)- Aspek kapitalisme tidak semata-mata dilihat sebagai konteks sosial kemunculan kasus tersebut, tapi juga menjadi isi (conten) dalam menganalisa dari tesis ini. Sedangkan kasus Blok Cepu merupakan arena terjadinya kontestasi antara negara yang lebih mewakili kepentingan multinational corporal (Exxon Mobile Oil Indonesia l EMOI) dengan kapitalisme lokal (Pertamina) yang disuarakan oleh keiompok partai agama.
Hasil temuan tesis saya ini menunjukkan bahwa politik identitas, yang salah satunya direpresentasikan melalui kebangkitan partai agama, baik diluar maupun didalam struktur kekuasaan negara, terjebak kepada sikap ambivalensi dalam berhadapan dengan kekuatan kapitalisme. Bagi partai yang masuk dalam lingkar kekuasaan (PKS), yang terjadi adalah kooptasi kekuatan kapitalisme melalui negara terhadap kekuatan partai agama. Demikian juga dengan partai yang diluar kekuasaan (PDS). Semuanya terjebak dalam kooptasi dan pragmatisme kekuasaan.
Data primer, data sekunder dan telah kepustakaan yang dilakukan mengarahkan pada pendapat bahwa hubungan di antara gejala perkembangan partai agama, bagaimana respon negara terhadap konteks global, sehingga memuncullkan kapitalisme, tidaklah sesederhana seperti yang dikemukakan dalam pemikiran Immanuel Wallerstein dengan Sistem Dunia. Menurut saya, hubungan diantara berbagai gejala tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut; (1) Kapitalisme Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, berbeda dengan kapitalisme Eropa. Ada faktor-faktor lokal (primordialisme, kultur feodalis dan psikologi bekas negara terjajah) dalam mempengaruhi dinamika kapitalisme. (2) konteks global bukanlah faktor tunggal yang menentukan dinamika kapitalisme negara-negara pinggiran. Dia hanyalah satu dari berbagai faktor lain yang mempengaruhi dinamika kapitalisme. (3) pola relasi agama dan negara, agama dan kapitalisme dan negara dan kapitalisme sangat mempengaruhi bentuk dan dinamika kapitalisme negara pinggiran.
Penelitian saya membuktikan bahwa hanya ada dua model capitalisme yang muncul di Indonesia; kapitalisme negara (state led capitalism) dan kapitalisme pasar (market friendly capitalism). Kapitalisme negara muncul karena pengaruh kultur feodalis dan faktor eksternal berupa penetrasi kekuatan kapitalisme global. Kapitalisme negara berbentuk patron clien dengan aktor tunggalnya rezim yang berkuasa. Dalam orde lama, aktor tunggalnya Soekarno, Orde Baru aktor tunggalnya Soeharto. Keduanya sama-sama tidak bisa memunculkan kelas kapitalis domestik yang tangguh. Penyebabnya karena kapitalisme Indonesia masih bersifat rent seeking dimana negara menjadikan kelas kapitalis tidak untuk tujuan social welfare, tetapi sebagai bagian yang menopang struktur kekuasaan. Sehingga jatuh bangunnya kelas kapitalis ini sangat tergantung dengan dinamika kekuasaan negara.
Persoalan identitas dengan background etnisitas, agama, suku dan ikatan primordial lainnya, atas nama stabilitas dan pembangunan, yang selama ini diharamkan oleh rezirn orde baru, kembali muncul setelah terjadinya liberalisme politik. Persepsi bahwa partai agama yang sekarang, merupakan kontinuitas dari partai agama sebelumnya, Dan kapitalisme sekarang juga sebuah kontinuitas dari kapitalisme sebelumnya, merupakan sebuah pernyataan (statemen) bukan kenyataan (reality). Karena partai agama dan kapitalisme dalam dinamika historis Indonesia memiliki ciri dan karakteristik tersendiri.
Partai Agama juga merupakan bagian dari politisasi identitas dalam negara semipheripheri ketika berhadapan dengan kapitalisme. Sehingga partai agama belum bisa menjadi basis perjuangan politik yang twat. Karena a mudah dipermainkan dan direduksi oleh kepentingan-kepentingan kapitalis. Inilah sebuah refashioning partai agama pasca rezim otoriter. Refashioning adalah terjadinya komestifikasi partai agama sebagai strategi survival. Caranya dengan mengkomodifikasikan identitas agama dengan bentuk, model dan strategi yang baru. Adapun tujuan, visi dan misinya tetaplah sama.