Realitas empirik di Indonesia, kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 memang mengakhiri era otoriterisme politik Soeharto, namun bukan berarti akhir dari eksistensi rejim Orde Baru. Ruang ekspresi politik menjadi relatif terbuka, namun kekuatan politik otoriterisme dan patriarkis juga masih tetap menjadi ancaman. Ruang politik yang terbuka menjadi ajang pertarungan kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi. Dalam perspektif perempuan, perubahan politik yang terjadi pada era rejim pasca Soeharto tidak membawa kemajuan yang berarti bagi perempuan Indonesia karena parameter perubahan sosial politik hanya mengedepankan perubahan di ranah publik. Dalam perspektif feminisme, perubahan sosial tidak hanya bersandar pada ranah publik, tetapi memperhitungkan transformasi yang terjadi pada tingkat individu sama pentingnya dengan perubahan kolektif. 'Masalah perempuan adalah masalah politik' sebagai ide dasar feminis poskolonial mempunyai sumbangan yang mampu menggugat ukuran-ukuran formal di ranah publik yang pada dasarnya ukuran-ukuran tersebut dirumuskan oleh semangat patriarki. Disinilah signifkansi penelitian ini, sebuah penelitian yang merespons sistem sosial politik Indonesia yang tunggal, yaitu sistem yang dikonstruksi berdasar cara Pandang patriarki dan mengakibatkan penindasan perempuan menjadi persoalan yang kasat mats tetapi belum mendapat perhatian.
Pengungkapan ketertindasan penting dilakukan dengan cara membangun kesadaran bahwa perempuan dikonstruksi menjadi kelompok tertindas. Melalui kesadaran ini, masalah ketidakadilan perempuan dianggap sebagai masalah penting yang perlu disikapi secara serius dan tidak ditinggalkan dalam proses-proses demokratisasi. Kesadaran kritis dan otonomi perempuan merupakan aspek penting dalam melakukan proses-proses pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Dalam masyarakat yang secara kultural maupun struktural mengalami ketimpangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, penindasan perempuan merupakan keniscayaan terjadi dalam segala aspek kehidupan. Sistem patriarki telah terintegrasi dalam kehidupan individu maupun institusi sosial menyebabkan perempuan tersubordinasi, mengalami kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan marginalisasi. Berangkat dari situasi tersebut, rumusan masalah yang diajukan adalah "seberapa efektif Pendidikan Feminis dapat mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan otonomi perempuan di Indonesia?"
Meskipun penelitian ini mengkaji sebuah program kerja tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan monitoring evaluasi. Oleh karena itu, teori yang digunakan bukan teori-teori monitoring evaluasi tetapi teori feminisme poskolonial. Adapun pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian feminis (feminist research).
Temuan-temuan penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama, adanya hubungan positif antara kesadaran kritis dengan aksi-aksi transformatif. Hal ini tercermin pada pengaruh Pendidikan Feminis dalam memperkuat kemampuan pemimpin lokal ('PL') mencakup tiga hal yaitu: (1) semakin menguatnya kesadaran kritis terhadap ketertindasan perempuan di wilayah Sulwesi Utara. Dalam konteks masyarakat Sulaweasi Utara yang plural, kesadaran atas ketertindasan perempuan dibarengi dengan kesadaran bahwa kelas, ras, etnis, dan agama. Berbagai sumber penindasan ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain (interlocking system). (2) Semakin menguatnya otonomi perempuan yang terwujud dalam sikap-sikap perlawanan dengan menolak sunat perempuan, poligami, jilbab, kewajiban melayani hubungan seks kepada suami dan pemaksaan untuk menggunakan alat-alat KB tertentu. (3) Tumbuhnya kemampuan melakukan aksi-aksi transformatif dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Kedua, adanya kesadaran kritis yang dibarengi dengan tindakan transformatif merupakan satu pola aksi-refleksi dalam siklus Pendidikan Feminis. Aksi-refleksi ini dapat berlangsung jika didukung oleh support group. Salah satu contoh support group yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berdirinya organisasi PILAR Perempuan. Melalui program-program kerja PILAR Perempuan, para 'PL' dapat melakukan aksi dan refleksi.
Ketiga, adanya perbedaan fokus perhatian antara 'PL' perempuan dan laki-laki dalam melakukan aksi-aksi tranformatif. Seksualitas atau memperkuat otonomi tubuh merupakan fokus perhatian perempuan dan laki-laki lebih pada upaya mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan.