Konflik antar nelayan adalah salah satu fonemena konflik yang marak terjadi dalam kurun lima tahun terakhir. Terkait dengan konflik nelayan, identitas nelayan yang berkonflik sering dikategorikan berdasarkan alat atau teknologi yang digunakan. Padahal, konflik kenelayanan bisa saja terjadi antar nelayan yang memiliki alat sama. Meskipun benar kesenjangan atau perbedaan teknologi telah memicu konflik, tetapi isu identitas sosial, dalam hal ini etnisitas dan asal daerah nelayan menjadi sangat penting untuk diperhitungkan dalam memahami konflik kenelayanan. Olehnya itu, faktor lain perlu dipertimbangkan.
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan di atas. Pertanyaanpertanyaan pokok diajukan, meliputi (1) peristiwa konflik kenelayanan apa saja yang telah terjadi, (2) bagaimana tipologi konfliknya, (3) bagaimana faktor identitas sosial (identitas asal kampung dan etnisitas) dalam mempengaruhi terjadinya konflik, serta (4) bagaimana nelayan menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif di wilayah Kepulauan Spermonde. Pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran dokumen, pengamatan, dan wawancara. Data dianalisis, diolah dan dilaporkan dalam pemaparan bersifat deskriptif. Sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori mengenai peristiwa konflik, tipologi konflik, identitas Sosial (asal daerah nelayan dan etnisitas) serta model resolusi konflik kenelayanan.
Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa : pertama, peristiwa konflik yang terjadi di lokasi penelitian, umumnya dilatarbelakangi oleh tiga aspek yaitu : (a) alat tangkap, (b) pelanggaran aturan wilayah penangkapan, dan (c) dampak penegakan hukum. Kedua, tipologi konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde didominasi oleh : (a) konflik internal "perang alat tangkap", (b) konflik eksternal "nelayan tangkap vs pembudidaya", (c) konflik yurisdiksi perikanan "open acces vs 'common property' berbasis masyarakat" dan (d) konflik mekanisme pengelolaan, terkait penegakan yang "eksesif (berlebihan) vs ringan". Ketiga, pengaruh identitas sosial, (a) asal daerah nelayan terlihat dari aturan pelarangan yang dibuat nelayan lokal terhadap nelayan pendatang atas perbedaan asal daerah nelayan "desa" dan "kabupaten". Sedangkan (b) pengaruh etnisitas terkait dengan adanya perbedaan budaya, sifat dan karakter dalam proses penangkapan nelayan pendatang (Mandar, Madura, Galesong), yang dianggap mengkhawatirkan oleh nelayan lokal. Keempat, usaha penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde telah dilakukan oleh berbagai pihak dengan berbagai pendekatan. Baik melalui pendekatan aparat hukum, pemerintah lokal, tokoh-tokoh nelayan, dan hubungan kekeluargaan. Akan tetapi, usaha penyelesaian konflik terkendala oleh berbagai hal seperti : penegakan hukum yang tidak konsisten, masih kurangnya aturan-aturan antar pengguna sumber daya, kurangnya alternatif mata pencaharian dan permodalan, serta lainlainnya. Olehnya itu, dalam rangka penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde, nelayan mengusulkan perlunya penegakan hukum yang konsisten, bantuan permodalan, pembangunan usaha alternatif mata pencaharian, aturanaturan baik di lokasi penangkapan maupun aturan antar nelayan lokal dan pendatang.
Dalam rangka penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde, maka peneliti merekomendasikan : pertama, pada level kebijakan, usaha penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan mengambil jalan tengah dari segitiga paradigma (paradigma konservasi, paradigma rasionalisasi dan paradigma sosial/masyarakat) yang dikemukakan oleh Charles (1992) dan perlu mempertimbangkan pendekatan menyeluruh dan memperhatikan interaksi positif kepentingan ekonomi dan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya yang tersedia (Ridler dalam Kusnadi, 2002). Kedua, sejalan dengan pemikiran Kusnadi (2002), beberapa altematif sebagai jalan keluar yang bisa dipertimbangkan untuk mengurangi konflik kenelayanan, adalah : (a) penegakan aturan hukum secara konsisten, (b) pengembangan secara intensif kesadaran konservasi sumber daya laut, dan (c) pengembangan pranata penangkapan dan pengelolaan sumber daya yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Ketiga, mempertimbangkan "kompleksitas" sistem ekologi sosial dan dinamika kehidupan wilayah pesisir dan Kepulauan Spermonde, diperlukan model penyelesaian konflik "ko-manajemen". Tentu saja, bentuk-bentuk usaha penyelesaian konflik dengan menggunakan manajemen tradisional yang telah dianggap berhasil tetap dipertahankan dan diintegrasikan dalam "ko-manajemen? Keempat, menarik untuk diperhatikan tentang teori-teori penyebab konflik yang dikemukan oleh Fisher dkk (2001). Oleh karena adanya relevansi teori-teori penyebab konflik yang dikemukakan oleh Fisher dkk (2001), dengan peristiwa konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde, maka panting untuk memperhatikan rekomendasi penyelesaian konflik kenelayanan di Kepulauan Spermonde berdasarkan relevansi teori-teori penyebab konflik Fisher dkk (2001) (lihat tabel 4.5) dan Kelima, sejumlah kegiatan yang panting untuk dilakukan dalam rangka usaha penyelesaian konflik kenelayanan di wilayah Kepulauan Sperrnonde dapat dilihat pada tabel 4.6. Beberapa dari kegiatan tersebut, telah dibuat desain programnya (lihat lampiran).