Latar belakang penulisan tesis ini adalah tingginya tingkat hutang Iuar negeri Indonesia yang ternyata tidak dibarengi dengan pengelolaan yang efisien dan efektif. Salah satu penyebab pengelolaan yang kurang efisien tersebut adaiah terjadinya low disbursement yang berakibat pada besarnya dana APBN yang digunakan untuk pembayaran kembali rnelebihi perkiraan pembayaran semula.
Penelitian difokuskan pada kasus Loan IBRD 4290-IND dan Loan IDB IND-0063/64 yang bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab low disbursement sekaligus membandingkan kedua lender beserta cara penarikannya untuk mencari mama yang lebih menguntungkan;
2. Memberikan rekomendasi kebijakan terkait dengan masalah low disbursement.
Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dalam rangka memperoleh gambaran masalah penyerapan dana pinjaman Iuar negeri dari berbagai sudut pandang, balk dari karakteristik proyek maupun dari indikator lain. Penelusuran dokumen proyek yang dibiayai pinjaman Iuar negeri dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya low disbursement tersebut.
Indikator yang digunakan untuk mengukur low disbursement adalah : Progress Varian, yaitu selisih persentase waktu terpakai dan persentase penyerapan kumulatif; backlog, yaitu besarnya dana terpakai yang belum diisi kembali (replenished) oleh pihak lender; dan realisasi disbursement terhadap target disbursement pada tahun anggaran berjalan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor rendahnya daya serap penarikan dana PLN adalah sebagai berikut:
1. Kekurangsiapan proyek dalam desain dan manajemen proyek;
2. Keterlambatan penyelesaian dokumen anggaran proyek akibat perubahan sistem maupun faktor manusia;
3. Perubahan kondisi/politik didaerah;
4. Rendahnya kualitas sumber daya manusia sebagai pelaksana proyek;
5. Faktor yang berasal dart lender;
6. Terjadinya backlog.
Karena tidak adanya metode yang compatible untuk membandingkan kedua lender yang berbeda karakteristik, penulis tidak dapat menentukan secara pasti lender mana yang lebih balk, namun dapat diambil beberapa kesimpulan perbedaan antara kedua lender tersebut sebagai berikut :
1. Lender IBRD menghitung cost of borrowing sejak effective date dan dikenakan pada dana yang sudah dan belum ditarik sehingga semakin lama low disbursement terjadi, makin besar kerugian yang harus dibayar. Pada lender IDB, cost of borrowing baru diperhitungkan jika sudah ada penarikan dan tidak dikenakan pada dana yang belum ditarik;
2. Jenis kegiatan proyek IDB lebih fieksibel karena borrower driven dan bukan lender driven seperti pada IBRD;
3. Porsi kegiatan 100% pada IDB lebih menguntungkan dibandingkan dengan sharing kegiatan seperti pada IBRD;
4. IDB memerlukan waktu pengusulan proyek yang rata-rata lebih lama dibanding IBRD;
5. Cara penarikan dengan pembayaran langsung yang umumnya digunakan IDB, cenderung lebih aman karena tidak ada backlog dibandingkan Reksus yang umum dikenakan IBRD.
Dan temuan-temuan di atas, penulis menyarankan beberapa kebijakan antara lain :
A. Kebijakan untuk mengatasi low disbursement :
1. Agar pemerintah lebih memperketat kriteria readiness filter dalam pengusulan proyek baru;
2. Agar Bappenas dan Depkeu dapat duduk bersama untuk mengatasi keterlambatan penerbitan dokumen anggaran;
3. Agar lebih meningkatkan koordinasi antar instansi terkait untuk menghindari kesalahpahaman;
4. Peningkatan kualitas SDM;
5. Perlunya diadakan kesepakatan dengan lender yang dapat mengikat untuk mengantisipasi kerugian sepihak;
6. Agar Depkeu dan proyek lebih intensif dalam melakukan replenishment.
B. Kiranya pemerintah perlu melakukan pemilihan lender termasuk Cara pembayaran yang lebih menguntungkan dan memiliki resiko yang lebih kecil atas keterlambatan proyek.