ABSTRAKKemiskinan dan keterbelakangan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kelompok negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (ACP, Segala bantuan dan keistimewaan yang diberikan UE sejak tahun 1975 -bahkan beberapa negara lebih lama lagi- tidak mampu secara signifikan melepaskan diri dari lingkaran keterpurukan. Alih-¬alih mengalami kemajuan pesat, Negara-negara ACP terutama di Sub Sahara Afrika, terus-menerus didera pertikaian, politik, etnis, dan agama yang tidak berkesudahan.
Tahun 2000, Konvensi Lome antara ACP-UE yang telah empat kali diperbaharui berakhir. Negosiasi baru yang telah dimulai sejak 1998 akhirnya menyepakati Perjanjian Cotonou yang berlaku efektif 1 April 2003. Perjanjian Cotonou merupakan babak baru hubungan ACP-UE karena di dalamnya beberapa hal baru diperkenalkan dan beberapa hal yang menjadi chi Konvensi Lorne seperti Stabex dan Sysmin dihapuskan.
Tesis ini bermaksud melihat dimensi-dimensi baru dalam Perjanjian Cotonou. Setelah menganalisa dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Cotonou tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan Konvensi Lorne. ACP menerima Perjanjian Cotonou karena posisi tawarnya lemah terhadap UE. ACP masih mengharapkan bantuan teknis dan finansial dari UE sedangkan UE dengan perkembangan internal dan eksternal melihat posisi ACP tidak lagi sepenting sebelumnya. Tujuan UE terhadap ACP sekarang lebih eksplisit yaitu secepatnya mengintegrasikan ACP ke dalam perdagangan dunia yang bagi ACP tentu tidak mudah dan akan banyak mengorbankan kepentingan nasionalnya.