Permasalahan yang dibahas dalam penetitian ini dibatasi pada pola-pola kemungkinan terjadinya restitusi pada PPN atas barang ekspor yang fiktif serta terjadinya hal tersebut sebagai akibat pola hubungan kerja antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang kurang baik. Teori yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan tesis ini mencakup sistem pembayaran pajak. Self Assessment System merupakan suatu sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung membayar, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang tertuang sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Teori lain yang digunakan adalah teori koordinasi. Koordinasi merupakan istilah yang dapat diartikan sebagai proses untuk memastikan bahwa aktititas individu maupun kelompok yang saling berkaitan berjalan sedemikian rupa sehingga mereka saling melengkapi satu sama lain dan memberikan sumbangan yang maksimal pada pencapaian tujuan keseluruhan organisasi. Dalam menjalankan tugasnya, fungsi koordinasi dalam organisasi perlu mendapatkan dukungan yang optimal dari bagian-bagian di dalam organisasi. Bentuk-bentuk koordinasi dalam organisasi antara Iain koordinasi berantai, koordinasi timbal balik dan koordinasi dalam memanfaatkansumber daya (Hill, C.W.L. dan John, G.R. 1995 : 115); Penelitian ini mengganakan metode deskriptif. Dengan metode ini penulis membuat deskripsi gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antara fenomena yang dianalisis dalam kaitannya dengan pola hubungan kerja Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal pemberian restitusi PPN. Dengan metode ini juga penulis mencari fakta dengan mengadakan observasi Iapangan sebagai upaya memperoleh data yang mengakibatkan terjadinya restitusi PPN atas barang ekspor fiktif. Faktur Pajak fiktif adalah faktur pajak yang dibuat tanpa adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Hal ini berarti bahwa seluruh kegiatan transaksi sebenarnya tidak terjadi, baik nama/jenis barang/jasa yang menjadi obyek transaksi jumlah nilai dan harga yang ada di faktur pajak serta PPN yang dipungut semuanya fiktif. Pola penerbitan Faktur Pajak tiktif dapat diidentifikasi sebagai berikut : 1. PKP, merupakan Pengusaha Kena Pajak yang identitasnya fiktif (NPWP, Nomor Pengukuhan PKP, dan Kode Seri Faktur), 2. PKP yang identitasnya (NPWP, Nomor Pengukuhan PKP dan Kode Seri Faktur, dikeluarkan secara resmi oleh Kantor Pelayanan Pajak, tetapi identitas ini hanya bersifat sementara saja yang sewaktu-waktu dapat pindah lokasi dengan cepat. Hal ini dilakukan dengan cara: a) Tidak memasukkan Surat Pemberitahuan Masa; b. Memasukkan Surat Pemberitahuan Masa, tetapi tidak ada transaksi; c. Memasukkan Surat Pemberitahuan Masa, ada transaksi tetapi Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan; d. Memasukkan Surat Pemberitahuan Masa, menyetor pajak dengan jumlah kecil. Untuk melaksanakan pemrosesan dan pemeriksaan pajak dalam rangka pemberian restitusi Pajak Pertambahan Nilai atas barang ekspor sumber daya manusia di Direktorat Jenderal Pajak pada bagian/seksi PPN baik di daerah (KPP) maupun di wilayah (Kanwil DJP) dan kantor pusat telah memiliki tingkat pendidikan formal dan non formal seperti pelatihan yang baik sehingga memiliki tingkat kemampuan, teknik dan kinerja juga baik. Pada pelaksanaan sistem dan prosedur kadang tidak terstruktur atau tidak berurutan, bahkan masih ada ditemukan kekurang-telitian. Sistem dan prosedur restitusi PPN atas barang ekspor mensyaratakan dokurnen yang dikeluarkan oleh instansi Iain seperti PEB dan persetujuan ekspor dari kepabeanan Bea dan Cukai, tanda penerimaan barang yang di ekspor atau Bill of Lading /Airway Bill dari jasa pelayaran. Karena instansi tersebut berjalan sendiri-sendiri maka kondisi ini sering dimanfaatkan oleh eksportir nakal untuk meiakukan praktek restitusi pajak PPN dengan ekspor fiktif. Disamping kurangnya koordinasi, cek dan ricek yang jelas dan prosedur restitusi pajak PPN atas barang ekspor, juga rentannya petugas terhadap godaan untuk berbuat curang dengan imbalan uang dari eksportir nakal.
The matters being discussed in this research is limited to the possible pattern of how the fictive VAT restitution on exported goods happens related to problems in the cooperation between the General Directorate of Taxation and the General Directorate of Custom and Excise. The theory taken as the reference for this thesis includes the tax payment system theories. Self Assessment System is a system which lays confidence on the tax payers to count, to pay, and report their own tax according to the applicable taxation law. Other theory being used is coordination theory. Coordination is the proper term that may be translated as the process of assuring that related individual and group activities run concurrently so that they supplement each other and give an optimal contribution to the achievement of organizational objectives. In carrying out its tasks, coordination function in an organization must have an optimal support from each entity in it. The forms of coordination within an organization such as: chain coordination, mutual coordination, and coordination in using resources (Hill, C.W.L. and John, GR., 1995:115). The research uses descriptive method. By which the writer made description, systematical illustration, using factual and accurate facts, characteristics and relationship between the analyzed phenomenon and the cooperation pattern of both General Directorates in VAT restitution application. By using this method the writer also conducted some observation to look for some facts and data of the causes of this phenomenon. A fake Tax invoice is one that is made without any submission of Taxable Goods or Services. It means that the whole transaction has never happened; all names/types of goods/services as the object of the transaction as well as prices/values written on the invoice are artificial. The modus of the issue of this fictive invoice can be identihed as follows: 1. PKP, the Taxable Businessman uses a fake identification such as (NPWP, the Tax Payer Verification Number and Invoice Serial Number), 2. The PKP is a real one, issued by the Office of Tax Service, but it is only valid for a short period and can be transferred quickly to other places at anytime by: a) Not including the Period Notiiication Letter; b. including the Period Notification Letter, but without any transaction; c. including the Letter of Notification, with a transaction but the value of the Output Tax is equal to the Input Tax; d. including the Letter of Notification, paying only a small amount of tax. To carry out the tax processing and examination in order to apply the VAT restitution on exported goods, human resources available in the General Directorate of Taxation especially in the VAT unit in the District Office (KPP) or Territorial Office (Kanwil DJP) already possess the required formal and informal education such as adequate trainings so that they have a good capability, techniques and also performance. During the performing their duties, whenever there is a problem in doing the tasks, the resolution to the problem still has not been made in a tactful, responsive and thorough manner. As an example, they still can not come up with an answer at the time of clarification. Furthermore, in the execution of systems and procedures sometimes done in an unsystematic and unorganized ways, even there are still evidences of carelessness. The system and procedure of VAT restitution on exported goods requires document issued by others instances such as the PEB and export approval from the Custom and Excise service, Bill of Lading/Airway Bill from the airways services. Besides the lack of coordinat a thorough check and re-check and a flawless procedure of implementation is obviously needed, also the tendency of the official getting seduced to corrupt or take a bribe from the naughty exporters. The fictive export VAT restitution is a form of organized crime where the crime cannot be conducted without the involvement of officers from custom, tax service, airwayslshipping companies and the bank. This kind of crime is classified into some modus which are: VAT mark-up on raw materials for export; documents counterfeiting; mark-up or fake the content and/or volume of exported goods; and also the goods is not being transported to the destination country but come back to the exporter's warehouse.