Fokus tesis ini mencoba untuk menelaah dan menguji teori James C. Scott tentang perlawanan orang-orang yang kalah (Weapons of the Weak: Everyday Fomis of Resistance). Teori ini melihat perlawanan orang-orang yang kalah untuk menolak atau mengurangi klaim yang dibuat kelas yang menang. Perlawanan ini bertujuan tidak untuk mengubah suatu sistem dominasi kelas atas tetapi untuk tetap hidup dalam sistem itu.
Penelitian dilakukan atas kegelisahan peneliti seiama ini terhadap penebangan kayu yang dilakukan oleh blandong setiap hari dan juga kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Tindakan penebangan kayu diiakukan oleh blandong untuk menolak atau mengurangi klaim Perum Perhutani yang menguasai hutan-hutan yang ada di Jawa, khususnya di Kec. Temayang Kab. Bojonegoro. Penelitian ini ingin mengungkap bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh blandong, bentuk-bentuk represi yang dilakukan aparat Perum perhutani dan faktor-faktor yang menyebabkan blandong melakukan perlawanan.
Pendekatan yang digunakan daiam penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu sebuah pendekatan yang dirasa relevan untuk meneliti fenomena yang terjadi pada suatu masyarakat. Pengamatan yang diarahkan pada Iatar belakang dan individu secara holistic (utuh) dan memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Untuk itu, dalam pengumpulan data menggunakan tiga cara: wawancara mendalam, pengamatan dan studi dokumenter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlawanan dilakukan dalam dua bentuk, perfama: pencurian kayu; kedua: penciptaan pasar kayu. Pencurian kayu dilakukan blandong untuk memenuhi kebutuhan subsistensi rumah tangga dengan meiakukan kerjasama dengan 'oknum? Perum Perhutani, sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama. Begitu juga dengan penciptaan pasar kayu dilakukan oleh blandong meialui kerjasama dengan berbagai pihak yang mempunyai kewenangan terhadap kontrol hutan dan desa, dalam hal ini adalah 'oknum? BKPH Temayang dan 'oknum? Polsek Temayang, Sukosewu dan Sugihwaras. Hal Iain yang juga sangat berpengaruh terhadap eksistensi blandong dan pasar kayu adalah adanya Iegitimasi dari tokoh agama yang menyatakan bahwa keberadaan blandong dan pasar kayu merupakan realitas yang bisa dilerima karena telah mampu memberikan keuntungan ekonomis masyarakat desa. Sedang bentuk-bentuk represi sehari-hari yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan aparat Negara adalah dengan melakukan penangkapan, pemenjaraan dan pemberian stereotip kepada blandong dengan menjulukinya sebagai pencuri kayu. Namun demikian hal itu tidak berpengaruh besar terhadap aktititas blandong dan eksintensinya sampai saat sekarang.
Dari hasil penelitian, analisa yang kemudian muncul adalah bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari sebagai counter terhadap bentuk represi sehari-hari bisa tetap bertahan beriringan. Bentuk perlawanan sehari-hari dalam hal ini pencurian kayu relevan untuk menunjukkan bahwa hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan subsistensi keluarga sebagaimana dlkatakan oleh Scott dan dalam penciptaan pasar kayu, maka teori perlawanan sehari-hari kurang relevan untuk menjelaskannya. Desa sebagaimana dalam pandangan Scott adalah suatu bentuk korporat yang terlutup terhadap dunia luar, bentuk-bentuk batas yang jelas dan tanah yang dimiliki merupakan kewenangan desa. Sedangkan pasar kayu yang diciptakan oleh blandong telah mengesampingkan analisa Scott karena pasar kayu itu diciptakan melintasi batas desa dan juga ekonomi desa-desa di sekitar hutan. Jadi di sini proses kapitalisasi ekonomi telah masuk ke dalam sistem ekonomi desa.
Kritik terhadap teori James C. Scott diiontarkan oleh Samuel L Popkin yang menyatakan bahwa keterlibatan petani dalam gerakan perlawanan terhadap penguasa karena didorong oleh kepentingan individual dan demi kepentingan pasar. Dalam hal penawanan blandong terhadap Perum Perhutani, hal ini didorong oleh kepentingan individual berupa akses terhadap hasil hutan berupa kayu jati.
Merujuk pada konsep triangguiasi tentang negara, komunitas dan pasar maka terjadi sinergi yang begitu kuat antara ketiganya, walaupun dalam lingkup lokal. ini sesuai dengan peran yang dimainkan oleh 'oknum' aparat Perum Perhutani dan Negara, blandong dan pasar yang diuntungkan oleh keberadaan blandong dan pasar kayu. Konsep trianggulasi ini berbenturan dengan Iembaga-Iembaga formal yang memformulasikan Negara, komunitas clan pasar dalam arti sesungguhnya.
Kesimpulan dari tesis ini adalah teori James C. Scott tetap relevan digunakan untuk menjelaskan perlawanan blandong terhadap Perum Perhutani karena terbukti perlawanan itu hanya digunakan untuk mempertahankan hak subsistensi masyarakat dalam mengakses hasil hutan dan juga tidak untuk mengubah dominasi Perum Perhutani dalam penguasan hutan di Kec. Temayang Kab. Bojongoro. Namun demikian teori Scott tidak bisa menjelaskan semua fenomena blandong, maka untuk itu analisa Popkin bisa untuk menambah kajian tentang fenomena blandong. Inilah implikasi teoritis dalam penelitian tentang Resistensi Blandong, ?Negara? dan Kapitalisme Frontier (Studi Kasus di Kec. Temayang Kab. Bojonegoro Pasca Rezim Developmentalis Represif).
Rekomendasi praktis tesis ini adaiah diperlukan pembuatan kebijakan dari berbagai pihak, terutama Perum Perhutani dan Negara untuk tidak hanya mengeksploitasi hutan, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat di sekitar hutan yang mempunyai kepntingan ekonomis terhadap hutan, terutama desa yang mempunyai hutan. Program Pengembangan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan solusi kebijakan yang harus diterapkan secara menyeluruh.