Risiko adalah kewajiban memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Klausula force majeure ketika mengatur mengenai hal-hal yang dapat diduga dapat mengandung unsur eksonerasi. Bagaimanakah batasan penggunaan klausula force majeure dalam perjanjian agar tidak bertentangan dengan KUHPer dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK); mengingat kegiatan usaha yang berisiko yang tinggi, dapatkah perusahaan sekuritas membebankan risiko yang lebih lugs dalam klausula force majeure kepada nasabahnya adalah masalah yang diteliti dalam tesis ini.
Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif, dengan data sekunder, yang dianalisis secara kualitatif. Penelitian ini bersifat deskriptif dan bentuk penelitian preskriptif, menggunakan pendekatan perundang-undangan.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa unsur eksonerasi balk dalam klausula force majeure maupun dalam klausula baku muncul ketika posisi tawar para pihak tidak seimbang; KUHPer memperbolehkan penggunaan klausula eksonerasi selama tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak; UUPK melarang penggunaan klausula eksonerasi; walaupun karakteristik perusahaan efek adalah dinamis dan penuh risiko, tetapi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal tidak memberikan keistimewaan khusus, sehingga berlaku ketentuan yang umum dalam hal penggunaan klausula eksonerasi maupun klausula force majeure yang mengandung unsur eksonerasi. Perusahaan efek seharusnya mempertimbangkan pengalokasian risiko kepada pihak ketiga sehingga risiko tidak hanya ditanggung nasabah.
Risk is an obligation to bear losses if there's something happen to the object that means to the agreement apart from one of the party mistake. Force majeure clause when arranges matter that could be predict could contain an exoneration element. How is the limit to use force majeure clause in agreement in order not to contradictory KUHPer and Republic of Indonesia Act No. 5 of 1999 concerning Consumer Protection (UUPK); Considering the risky business field, could the security company places the wider risk in the force majeure clause to their customer are the problems that are researched in this thesis.
The research method that is used is juridical normative, with the secondary data, that is analysed qualitatively. This research is descriptive and the form of the research is prescriptive, using the legislation approach.
Based on the research results are found that the exoneration element both in force majeure clause and in standard clause are emerge when the bargaining position of the side does not balance; KUHPer has permitted the use of exoneration clause as long as not compatible with the freedom to make agreement principle; UUPK has banned the use of exoneration clause; although the characteristics of the security company are dynamic and risky, Republic Indonesia Act No. 8 of 1995 concerning Capital Market does not give any special expertise, so the general policy about the use of both exoneration clause and force majeure clause that contains exoneration element are occur to security company. The Security Company ought to consider to allocating the risk to the third party so the risk does not only borne by the customer.