Sejak Deng Xiaoping mengambil tampuk kepemimpinan di China pada tahun 1978 terjadi perubahan mendasar dalam politik luar negeri China. Kebijakan Politik Luar Negeri menjadi terbuka, lebih aktif di forum internasional dan lebih canggih dalam membina hubungan dengan negara-negara lain. Di bidang ekonomi, Deng menggandeng dua lembaga keuangan internasional yang sangat berpengaruh, yaitu IMF dan Bank Dunia sebagai advisor sehingga Foreign Direct Investment (FDI) China meningkat secara pesat yang berujung pada tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Tumbuhnya China sebagai kekuatan baru di kawasan mengubah secara signifikan konstelasi politik internasional terutama di Kawasan Asia Timur apalagi pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi Jepang, yang sebelumnya menjadi negara Asia yang paling maju, stagnan. Dalam perjalanannya, hubungan bilateral China dan Jepang justru semakin tegang, terutama di era pemerintahan Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Pemicunya berkaitan dengan isu kolonialisme. Koizumi setiap tahun sejak menduduki posisi sebagai Perdana Menteri Jepang selalu berkunjung ke kuil Yasukuni setiap tahun sesuai janji yang diikrarkan, di mana terdapat 14 penjahat perang kelas A pada Perang Dunia II dimakamkan. Selain itu, Jepang berupaya menyembunyikan kekejaman pasukan beserta dirinya pada masa kolonialisme Jepang di China dalam buku sejarahnya.
Kurang harmonisnya hubungan China dan Jepang berdampak negatif terhadap kawasan Asia Timur apalagi mereka berdua diharapkan dapat menjadi backbone dalam pembentukan Komunitas Asia Timur yang telah disepakati para pemimpina negara di kawasan ini. Berangkat dari pentingnya hubungan bilateral China-Jepang tersebut, penelitian ini mengkaji lebih jauh isu kolonialisme yang menjadi kerikil tajam dalam hubungan China dan Jepang. Teori-teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur politik dari Kenneth Wattz, teori, sistem internasional dari Chris Brown, teori perilaku dari Samuel S. Kim, dan teori kebijakan politik luar negeri dari David M. Lampton. Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana pemerintah China menggunakan isu kolonialisme dalam politik luar negeri-nya dalam menjalin hubungan bilateral dengan Jepang dan apa keunungan yang diperoleh China dalam memainkan isu kolonialisme, khususnya dalam tata pergaulan internasional.
Dengan menggunakan penelitian deskriptis analitis, dapat dikatakan bahwa pemerintah China memainkan isu kolonialisme sebagai upaya mempengaruhi lingkungan eksternal dan internal. Jepang, bagaimanapun juga adalah saingan China dalam sistem internasional yang bersifat anarkis. Melalui isu kolonialisme, kekejaman Jepang dalam era Perang Dunia II akan selalu dikenang oleh masyarakat internasional sehingga upaya Jepang menjadi negara berpengaruh di dunia internasional, khususnya di Asia Timur, terganggu. Melalui isu kolonialisme, dukungan masyarakat China atas legitimasi Partai Komunis semakin meningkat karena Partai Komunis adalah pihak yang paling gigih berjuang saat pendudukan Jepang.