Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dan disebarkan oleh nyamuk Aedes (Stegomyia). Demam Denggi (Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) terjadi lebih di 100 negara, dimana lebih dari 2,5 milyar manusia berisiko terinfeksi, diperkirakan 50 juta orang terinfeksi setiap tahun. Di Indonesia kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue (DBD) terjadi setiap tahun. Pada tahun 1998 dan 2004 terjadi KLB yang cukup ekstrim dibeberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus mencapai 79.480, tahun 2005 dilaporkan 95.000 kasus, dan pada tahun 2006 hingga bulan Nopember tercatat 73.000 kasus. Secara nasional propinsi DKI Jakarta menduduki posisi tertinggi, diikuti oleh propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan (Kusriastuti,2006).
Perumusan masalah: penyakit DBD yang muncul disuatu daerah dipengaruhi oleh dinamika respons antara kondisi lingkungan yang mendukung perkembangbiakan vektor dengan variabilitas cuaca musiman
Pertanyaan penelitian: 1.Apakah ada hubungan antara variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD di DKI Jakarta? 2. Apakah ada perbedaan jumlah rata-rata kasus DBD pada daerah dengan kondisi fisik permukiman yang tidak homogen? 3. Berapa ambang batas variabel cuaca yang signifikan terhadap perkembangan Kasus DBD di DKI Jakarta?
Tujuan umum: membuat model peringatan dini DBD untuk wilayah Jakarta Timur dalam bentuk peta tematik potensi kasus demam berdarah dengue.
Tujuan khusus: 1.Mengetahui pola perkembangan kasus DBD di wilayah Jakarta Timur. .Mengetahui variabilitas cuaca musiman di wilayah Jakarta Timur. 3.Mengetahui kondisi pemukiman yang rentan terhadap munculnya DBD. 4. Mengetahui hubungan antara variabel cuaca musiman dengan kejadian kasus DBD. 5.Membuat model peringatan dini DBD berdasarkan variabel cuaca musiman.
Manfaat penelitian: 1.Pengembangan ilmu pengetahuan hubungan variabilitas cuaca musiman dengan perkembangan kasus DBD, 2. menentukan langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD, 3. masukan bagi Pemerintah daerah untuk pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD 4. pengembangan kajian ilmu kesehatan lingkungan.
Penelitian di wilayah Jakarta Timur, dengan pertimbangan wilayah ini cukup mewakili variasi keragamaman dalam arah utara-selatan, dan timur-barat. Metode yang dipergunakan adalah deduktif retrospektif (ex post facto), melalui lima tahap kegiatan, yaitu tahap explorasi, uji homogenitas wilayah pemukiman, pemodelan, validasi, dan pemetaan hasil pemodelan.
Hasil penelitian: kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan pergeseran usia penderita beresiko tinggi, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat. Secara klimatologis suhu udara rata-rata berkisar antara 23-31°C, optimum untuk perkembangbiakan dan aktifitas nyamuk, yaitu antara 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Kelembapan relatif udara rata-rata cukup tinggi (>70%) hampir sepanjang tahun. Curah hujan dan hari hujan menunjukkan siklus musiman yang nyata pada periode musim hujan yang berlangsung pada bulan Nopember-April, dan periode musim kemarau yang berlangsung pada bulan Mei-Oktober. Munculnya kasus DBD dapat dijelaskan dengan nilai indeks cuaca musiman (IC_DBD) dengan tingkat akurasi 81%. Nilai ambang batas IC_DBD peringatan dini DBD adalah pada kondisi Potensial (78-104). Nilai IC_DBD, cenderung tinggi pada periode menjelang musim hujan hingga awal musim kemarau (Oktober-Mei) dengan puncaknya terjadi pada bulan Januari. Siklus DBD terjadi pada periode Desember hingga Juli, dengan puncaknya terjadi pada bulan April.
Kesimpulan: 1. kasus DBD di wilayah Jakarta Timur mempunyai pola distribusi yang juling kanan (positively skewed), dan menunjukkan adanya pergeseran usia penderita yang beresiko tinggi terhadap DBD, dari usia 4-11 bulan (1979-1998) menjadi usia 15-44 tahun, dengan kecenderungan jumlah kasus yang juga semakin meningkat; 2. Variasi musiman suhu dan kelembapan udara relatif stabil dan optimum untuk perkembangan nyamuk, kecuali faktor hujan mempunyai siklus yang nyata pada musim kemarau dan penghujan; 3. Rata-rata jumlah kasus DBD pada kondisi permukiman di Jakarta Timur tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan tingkat kepercayaan 95%, 4. Variabilitas cuaca musiman dapat dipergunakan sebagai precursor terhadap kasus DBD dengan tingkat akurasi 81% dengan jeda waktu 2 (dua) bulan; 5. Peta potensi DBD mempunyai ambang batas pada kondisi Potensial (78-104) dengan relasi terhadap kasus sebesar 400-599 kasus.
Saran: Model ini dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah daerah, instansi terkait, peneliti, dan masyarakat luas di daerah endemik DBD sebagai referensi kebijakan pencegahan, penanganan, dan penanggulangan DBD.
Dengue is a disease caused by viruses and transmitted by Aedes mosquito (Stegomyia). Dengue Fever and Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DBD/DHF/DSS) occurred in more than 100 countries, more than 2,5 billion people at risk and estimated 50 millions people infected every year. In Indonesia, Unusual Event of Dengue Haemorrhagic Fever cases happen annually. In 1998 and 2004 extreme Unusual Events occurred in some of Indonesian provinces with 79.480 cases, in 2005 with 95.000 cases and in January to November 2006 with 73.000 cases. Nationally, DKI Jakarta is at the first level experienced the epidemic, followed by East Java, West Java, Central Java and South Sulawesi (Kusriastuti, 2006).
Problem formulation: The DHF that occurred at a certain area is specifically influence by the dynamical response between environmental conditions that support vector breeding and seasonal weather variability.
Research question: 1. Is there any corresponds between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta? 2. Is there any differences in the number of Dengue Haemorrhagic Fever occurrences over non homogeny settlement area ? 3. How much is the threshold of weather variables significance with the growth of Dengue Haemorrhagic Fever in DKI Jakarta?
General purpose: creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model of East Jakarta area by creating thematic maps of Dengue Haemorrhagic Fever potency.
Special purposes: 1. Understanding the growth pattern of Dengue Haemorrhagic Fever in East Jakarta. 2. Understanding seasonal weather variability of East Jakarta. 3. Understanding the mean number of DHF case that occurred at non homogeny settlement condition, 4. Understanding corresponds between seasonal weather variables and Dengue Haemorrhagic Fever cases. 5. Creating a Dengue Haemorrhagic Fever early warning model based on the seasonal weather variables.
Benefits: 1. Developing the study on the correlation between seasonal weather variability and the growth of Dengue Haemorrhagic Fever cases. 2. Determining prevention and control methods of Dengue Haemorrhagic Fever disease. 3. Giving input for local governments to prevent and control the Dengue Haemorrhagic Fever 4. Developing study on the environment health. Study at East Jakarta area is considering that the area is represents enough for East-West and South-North variability variation. Deductive retrospective (ex post facto) method is used, divided into five stages including exploration, homogeneity test of settlement area, modeling, validation and model mapping.
Results: Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased in quantity. Climatologically, the average temperature is at 23-31°C, optimum for mosquito?s activity and growth at about 27-28°C (Koopman, 1991; Ridad, 2007). Average relative humidity is high enough (>70%) almost at the whole year. Precipitation rate and rain days amount clearly shows seasonal cycle at the rainy season period at November to April and dry season period at May to October. The emerging of Dengue Haemorrhagic Fever cases could be explained by seasonal weather index value (IC_DBD) which accuracy reaches 81%. Threshold value of IC_DBD for issuing early warning is at the potential condition (78-104). IC_DBD value is relatively high at the formerly rainy season to the formerly dry season (October to May) and reaches its top value at January. Dengue Haemorrhagic Fever cycle occur at December to July and peak at April.
Conclusions: 1. Dengue Haemorrhagic Fever cases distribution pattern in East Jakarta is positively skewed and shows age shifting of high risk patient, from 4-11 months (1979-1998) to 15 ? 44 years, with tendency to become increased; 2. Seasonal variation of temperature and humidity are relatively stable and optimum for the growth of the mosquito, with exception of clear rain factor at the rainy and dry season; 3. There is no significance differences in the mean number of occurrences of DHF cases at 95% significant level degree ; 4. Possibility of the seasonal weather variability as a precursor for Dengue Haemorrhagic Fever cases with accuracy reached 81% with 2 (two) months break; 5. Threshold for the Dengue Haemorrhagic Fever thematic maps is at the potential condition (78-104) corresponds with 400-599 Dengue Haemorrhagic Fever cases.
Suggestions: This model possible to be utilized and further developed by local governments, related institutions, scientist and society at the endemic area of Dengue Haemorrhagic Fever as a reference for prevention and control policy for the fever.