Mengingat begitu maraknya masyarakat Indonesia yang melangsungkan perkawinan sirri, baik masyarakat kalangan menengah kebawah, maupun komunitas pesantren yang kuat secara religius serta mempertimbangkan akibat yang sangat merugikan bagi perempuan dan khususnya anak yang dilahirkan dari kawin sirri tersebut, sedangkan bukti status hukum anak yang dituangkan dalam akta kelahiran yang berdasarkan sah tidaknya perkawinan orangtuanya, sebagaimana dalam pasal 2 Undang - undang perkawinan Indonesia seolah ambivalen, maka perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif mengenai akta kelahiran bagi anak kawin sirri yang dilakukan dengan itikad baik. Akta Kelahiran merupakan bukti identitas diri seseorang mengenai asal usul berdasarkan nasab atau hubungan darah. Menurut Ilmu Biologi, tidak akan lahir seorang anak tanpa peran laki - laki (bapak) yang mengakibatkan wanita (ibunya) mengandung hingga melahirkan anak. Namun dalam hukum seorang anak dapat hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, atau bahkan tidak memiliki hubungan hukum dengan keduanya (bapak dan ibunya). Ada atau tidak adanya hubungan hukum ini berdasarkan sah atau tidaknya perkawinan dan pengakuan dari kedua orang tuanya. Perkawinan adalah perbuatan hukum yang sangat penting untuk menentukan kedudukan hukum seseorang. Karena sah tidaknya perkawinan merupakan dasar yang menentukan status anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hukum perkawinan Indonesia tidak mengenal istilah kawin sirri, kawin sirri yang diterjemahkan masyarakat Indonesia tidak sama dengan pemahaman kawin sirri dalam hukum Islam. Menurut Undang - undang perkawinan Indonesia, perkawinan sah apabila dilakukan menurut ketentuan masing - masing agama dan kepercayaannya. Maka kawin sini yang dilakukan dengan itikad baik dengan memenuhi seluruh rukun dan syarat sahnya perkawinan menurut hukum Islam adalah sah. Dengan demikian, sistem hukum yang memberlakukan anak kawin sirri yang dilakukan dengan itikad baik sama dengan anak luar kawin atau anak tidak sah adalah kurang tepat. Kelahiran anak tanpa kehadiran seorang bapak adalah bukan kesalahan anak itu, maka tidak sepantasnya seorang anak dihukum dengan tidak diperkenankan memiliki status hubungan dari bapaknya tersebut. Oleh karena itu, seyogyanya putusannya lembaga Itsbat nikah Pengadilan Agama sebagai solusi dari kawin sirri yang belum dicatatkan, harus dipatuhi oleh semua instansi, baik oleh Kantor Urusan Agama selaku lembaga pencatat nikah, maupun Kantor Catatan Sipil lembaga pencatat kelahiran.
Given so popular in Indonesia that perpetuate marriage under the hand, both the community down middle, and boarding a strong community of religious and consider the very harmful consequences for women and especially children who are bom from marrying under the hand, the proof of legal status while the child is poured in the birth of teaching license based on a valid marriage or not their parents, as in article 2 law - the Indonesia marriage law seems ambivalent, nccd to do the research with qualitative deseriptive approach of teaching license on the birth of children marrying under the hand made with good faith. Birth Certificate serves as proof of a person’s identity concerning origin based on family or blood relation. According to Biology, no child will be bom without the role of a male (father) causing a female (his (her) mother) pregnant and delivers a baby. However in legal perspective, a child may only have a legal relation with his (her) mother and the family of his (her) mother, or even have no legal relation with both of them (his (her) father and mother). Whether such legal relation exists or not depends on validity of marriage between and acknowledgment from both parents. Marriage is a very important legal act to determine a person’s legal position, because validity or invalidity of a marriage serves as basis to determine the status of child bom from the marriage. Indonesian marriage law does not recognize the term purely religious marriage (kawin sirri), the purely religious marriage translated by the Indonesian community is not similar to the understanding of purely religious marriage in the Islamic law. According to the Indonesian marriage law, a marriage is legal if it is held in accordance with each religion and belief. Therefore a purely religious marriage held in good faith by complying with all pillars and requirements of a valid marriage in accordance with the Islamic law is legal. Therefore, a legal system which enforces a child from a purely religious marriage conducted in good faith similar to a child outside marriage or illegal child is inappropriate. Birth of a child without the presence of a father is not the child’s mistake, therefore he (she) should not punished by not allowing him (her) to have a status of relation with his (her) father. Therefore, the institution should decide the Religious Itsbal marriage as the solution of marrying under the hands that have not been recorded.