Tesis ini berupaya mengkaji dan menganalisis proses dan strategi pengembangan komunitas berbasis media komunitas 'Angkringan' di Bantul Yogyakarta, dengan berpijak pada skema konseptual (Habitus)(Capital) + Field = Practice yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu. Dengan skema ini, pengembangan komunitas dipahami sebagai dinamika praktik sosial agen-agen sosial yang dipandang tercipta dan terikat oleh habitus, oleh struktur-struktur obyektif yang mendefinisikan ranah sosial dan oleh sekumpulan besar strategi lain yang menyembunyikan fakta perjuangan modal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data memakai teknik wawancara mendalam, studi dokumen, dan studi pustaka.
Penelitian ini mengambil setting studi di desa Timbulharjo Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana terdapat komunitas Angkringan yang menjadi fokus studi.
Subyek penelitian ini terdiri dari lima unsur.
Pertama, aktor-aktor ?internal? media komunitas ?Angkringan?, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam pengembangan komunitas. Aktor-aktor internal ini dibagi dalam dua kategori, aktif dan non-aktif.
Kedua, Pemerintah desa Timbulharjo dan lembaga warga yang terdiri dari lembaga formal Badan Perwakilan Desa (BPD) dan lembaga informal Forum Komunikasi Warga Timbulharjo (Fokowati).
Ketiga, warga masyarakat Timbulharjo.
Keempat, pengurus Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY) dan Jaringan Radio Komuintas Indonesia (JRKI) sebagai representasi organisasi yang konsen pada bidang pengembangan media dan radio komunitas.
Kelima, Jaringan Pendamping Radio Komunitas (JPRK). Dalam hal ini Combine Resource Institution (CRI).
Keenam, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Yogyakarta dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai representasi lembaga pemerintah yang mengurusi soal media, hak penyiaran dan sebagainya.
Point penting dari temuan lapangan penelitian ini adalah bahwa sebagai komunitas berbasis media, Angkringan melakukan pengembangan komunitasnya dengan memanfaatkan aneka jenis media mulai dari media cetak (buletin), media audio (radio), media audio visual (Video dan TV Komunitas), hingga teknologi internet. Melalui buletin, Angkringan menyuguhkan aneka gagasan dan wacana tentang pentingnya pensikapan terhadap berbagai persoalan yang menggelayut di seputar komunitas. Melalui radio siaran, Angkringan membuka semacam ruang publik bagi warga komunitas untuk mencurahkan keluh kesah, sumbang saran, kritik bahkan gugatan atas segala hal yang dianggap 'bermasalah'.
Radio Angkringan menawarkan sebuah kesempatan yang memungkinkan terjadinya dialog interaktif antar berbagai pemangku kepentingan -warga dan pemerintah desa- dalam komunitas. Teknologi internet menjadi fase yang paling mutakhir dan spektakuler sebagai rangkaian praktik sosial yang dilancarkan Angkringan demi mengembangkan komunitsnya. Melalui media internet, Angkringan berupaya mengembangkan komunitas pada ranah yang lebih luas dengan mengembangkan jejaring komunitas seantero nusantara bahkan dunia.
The thesis is adressed to study and to analyze on process and strategy of community development based on ?Angkringan Comunity Media? in Bantul Yogyakarta, refer to a conceptual framework of practices according to Bourdeiu that is (Habitus) (Capital) + Field = Practice. Based on this scheme, a community development is a dynamic of social practices of social agencies that constructed and bounded by habitus, by objective structures that defining a field of social, and by other strategies that concealing capital struggle facts.
This research implement a qualitative approach with data collection method through indepth interview, literatury studies, and documentary studies. The situs of research is in vililage of Timbulharjo, District of Sewon, Regency of Bantul, Province of Yogyakarta that there is ?Angkringan Community? as the focus of study.
The research subject consisted on five elements as follow.
The first, internal actors of Angkringan community media, that is they are involved directly in community development. They can be divided by two categories that are active and non-active.
The Second, Timbulharjo village government dan civilian institutions that cover Badan Perwakilan Desa (Village Representative Board) and Forum Komunikasi Warga Timbulharjo (Timbulharjo civic communication forum).
The Third, Timbulharjo villagers.
The Fourth, management of Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (Yogyakarta Community Radio Network) and Indonesia Community Radio Network).
The Fifth, Jaringan Pendamping Radio Komunitas (Community Radio Advocation Network).
Finally, the Indonesian Broadcasting Commission and Yogyakarta Broadcasting Commission as government representatives.
The important findings resulted from the research is that as media based community, Angkringan undertakes their community development by using vary of from bulletin, radion, video, and TV-community, to internet technology. Through bulletin, Angkringan presents vary of ideas and discourse about the significance to some problems around their community. Through radio, Angkringan opens a public space for community to express their aspiration, suggestions, critique, even litigation over all problematical things.
Radio Angkringan offers an opportunity that enabling interactive dialogue among stakeholders and village government in their community. Internet technology become the most modern stage and spectaculer as a set of social practices that launched by Angkringan to develope their community. Through internet media, Angkringan tries to develope their community in the broader field by developing community network in the level of national and international.