Kebijakan SIPPT diterapkan oleh Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1971 awalnya sebagai suatu kebijakan pengendalian pembebasan tanah dan pengadaan infrastruktur FASOS FASUM di DKI Jakarta. Seiring dengan makin tertibnya bukti kepemilikan tanah, maka saat ini SIPPT lebih berperan sebagai kebijakan pengadaan infrastruktur FASOS FASUM.
Setelah kebijakan berjalan selama lebih dari 35 tahun dan telah menetapkan 2247 Pemegang SIPPT diseluruh Jakarta baru 11,9 % yang menyerahkan kewajiban sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam SIPPT. Ketidakberhasilan ini disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu ; landasan filosofis, peraturan perundangan dan jenis, besaran dan standar FASOS FASUM. Pada bagian saran penyempurnaan, ketiga faktor utama diatas dirangkai dengan beberapa sub faktor turunannya, kemudian dilakukan wawancara kepada pakar yang menguasai permasalahan SIPPT, hasil dianalisis dengan metode Analythic Hierarchy Program.
Hasil akhir solusi didapat bahwa kebijakan SIPPT harus dirubah menjadi Keputusan Gubernur sehingga lebih kuat dalam menerapkan sanksi. Substansi jenis, besaran dan standar FASOS FASUM juga harus direview sehingga tidak menyebabkan multitafsir seperti selama ini terjadi. Pada masa yang akan datang, kebijakan SIPPT sebagai salah satu sarana pengadaan aset infrastruktur FASOS FASUM memegang peranan pentingtidak hanya bagi penghuni kawasan namun juga harus memberi dampak positif bagi semua stake holders. Berdasar hal ini, maka filosofi, peraturan perundangan dan jenis, besaran serta standar harus direview ulang guna mewujudkan kota Jakarta yang adil bagi segenap warganya.
Land Use Appointment Permit (SIPPT) policy was imposed in 1971 by Governor of Ali Sadikin, initially as land acquisition control policy and provision for Public Utility and Public Infrastructure (FASOS/FASUM) in DKI Jakarta. As land ownership documentation improving, SIPPT was used more on infrastructure provision for FASOS/FASUM.
After more than 35 years implementing SIPPT policy and issued 2247 SIPPT holder, only 11,9 % SIPPT holder handed over their obligation as stated in SIPPT. This underachievement was triggered by three main factors; philosophical, law and regulation, unit and standard of FASOM/FASUM. In ?Suggestion for Improvement? chapter, those three main factors were combined with sub factors, followed with interview with experts in SIPPT subject.
Result of interview then analyzed using ?Analytic Hierarchy Program?. Final conclusions suggested that SIPPT policy should be reinforced into Governor Decree to enable stringent law enforcement. Substance of type, units, and standard must be reviewed to avoid ambiguity. In future, SIPPT policy as means for provision of infrastructure asset for FASUM/FASOS will play important role not only for the residence in an area but also to bring positive impact for all stakeholders. Base on those facts, then philosophy, law and regulation, type, units, and standards of FASUM/FASOS must be reviewed to create Jakarta as egalitarian city for all residence.