Penelitian mengenai kesantunan imperatif bahasa Jepang bertujuan untuk mengamati serta memerikan bentuk-bentuk ujaran dan strategi kesantunan yang digunakan untuk menyampaikan pesan imperatif di dalam bahasa Jepang. Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah teori Austin (1962) mengenai tindak tutur, teori Grice (1975) mengenai implikatur percakapan, teori Kindaichi Haruhiko (1989) mengenai jenis kalimat dalam bahasa Jepang, teori Leech (1980, 1983) mengenai prinsip kesantunan, serta teori Brown dan Levinson (1978) tentang kesantunan berbahasa. Korpus penelitian berupa komik bahasa Jepang yang berjudul Yasha karya Yoshida Akimi dan Konjaku Monogatari (Ge) karya Mizuki Shigeru. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data ujaran imperatif yang muncul di dalam komik yang kemudian diklasifikasi berdasarkan bentuk ujarannya. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap aspek-aspek di luar kebahasaan dan strategi kesantunan yang digunakan dalam masing-masing ujaran tersebut. Dari analisis data penelitian ini diperoleh temuan bahwa suatu pesan imperatif (perintah) tidak hanya dapat disampaikan dengan menggunakan ujaran dalam bentuk imperatif, tetapi juga dapat disampaikan dengan menggunakan ujaran dalam bentuk deklaratif dan deklaratif-transmisif. Pilihan strategi kesantunan yang digunakan dalam melakukan perintah adalah dengan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung suatu perintah dituturkan dengan menggunakan ujaran imperatif; sedangkan tindak tutur tidak langsung dituturkan dengan menggunakan ujaran deklaratif dan ujaran deklaratiftransmisif. Temuan lain yang menarik adalah penutur berbahasa Jepang cenderung memilih menggunakan tindak tutur tidak langsung dalam melakukan suatu perintah. Dalam analisis terlihat juga bahwa penutur yang memiliki kedudukan lebih tinggi cenderung memiliki kebebasan untuk memilih ujaran mana yang ingin digunakan dalam memerintah; sedangkan penutur yang berkedudukan lebih rendah justru sebaliknya. Walaupun demikian, ada kalanya pada situasi yang memerlukan keefisiensian ujaran (pada saat mendesak/darurat) penutur yang memiliki kedudukan lebih rendah dapat dengan bebas memilih ujaran yang ingin digunakan (bahkan ujaran yang pada saat normal tidak umum digunakan).