ABSTRAKDisertasi ini menelaah pengalaman perempuan peranakan Arab Ba-Alawi di Jakarta (disingkat perempuan Ba-Alawi) dalam sistem perkawinan, serta peran mereka sebagai aktor reproduksi kebudayaan dan resistensi dengan tujuan menjelaskan tentang pengalaman merekadalam perkawinan yang diharapkan (preference marriage). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode genealogical history dari empat generasi pada empat keluarga luas Ba-Alawi, pengamatan terlibat dan wawancara mendalam.
Penelitian ini menunjukkan:
(1) pengalaman perempuan ba Alwi memperlihatkan bahwa mereka sebagai bagian dari komunitas Ba-Alawi dikonfrontir oleh nilai-nilai perkawinan yang diharapkan berlandaskan pada sistem patri-lineal dan nilai sekufu/kafa?ah yang dipengaruhi oleh madzhab Syafe?i. Pemaknaan yang ketat terhadap nilai sekufu/kafaah menyebabkan perkawinan yang diharapkan berbentuk endogami bangsa (perkawinan sesama Ba-Alawi) untuk perempuan, sedangkan eksogami bangsa (perka-winan campuran) diperkenankan bagi laki-laki. Dalam perkawinanperempuan berada dalam pembatasan yang ketat, sehingga perempuan cenderung berada dalam dominasi laki-laki (budaya patriaki). Penelitian ini memperlihatkan bahwa perubahan pola, trend dan dinamika perkawinan pada komunitas Ba-Alawi disebabkan karena pemaknaan nilai sekufu/kafa?ah yang lebih longgar. Menarik bahwa data dari empat keluarga dalam penelitian ini menunjukkan trend perkawinan campuran meningkat dilakukan oleh perempuan. Adapun perkawinan campuran tersebut dapat terjadi antara perempuan Ba-Alawi dengan laki-laki di luar komunitas Ba-Alawi yaitu dengan laki-laki muslim, mualaf, atau bahkan dengan laki-laki beda agama dimana masing-masing pihak tetap bertahan pada agamanya. Namun bentuk perkawinan beda agama ini masih amat langka dan ditolak keras oleh komunitasnya. Setelah tahun 1974, perkawinan campuran yang dilakukan oleh perempuan, ditunjang oleh keragaman hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum Islam dan hukum negara. Perempuan Ba-Alawi dapat memilih melakukan perkawinan siri, perkawinan sesuai dengan ketentuan negara (disebut perkawinan KUA), atau kedua-duanya.
(2) perempuan merupakan aktor yang dapat mengembangkan strategi-strategi untuk reproduksi kebudayaan dan resistensi terhadap budaya patriaki. Perempuan sebagai aktor pada prinsipnya didukung juga oleh aktor lain, yaitu laki-laki dalam keluarga, ulama/tokoh masyarakat, organisasi volunter dan aparat negara (terutama institusi agama). Reproduksi kebudayaan dan resistensi yang dilakukan oleh perempuan itu terlihat pada arena-arena sosial, yaitu pada media kekerabatan (seperti dalam silsilah keluarga dan perkawinan), media religi, dan media sosial.
ABSTRACTThis dissertation describes the experiences of half-breed Arab Ba-Alawi women in Jakarta (abbreviated as Ba-Alawi women) in the marriage system and their roles as actor of cultural reproduction and resistance with the objective to explain their experiences within the expected marital standards (preference marriage). This research is a qualitative research applying genealogical history method by using case studies of four generations of four Ba-Alawi extended family, participation observation, and indepth interviews.
This researches consist of:
1. The experiences of Ba-Alawi women showed that as part of Ba-Alawi community structure, they are being confronted by preference marriage which are based on patrilineal system and sekufu/kafa?ah values that are affected by Mazhab Syafe?i. The strict meaning of the se-kufu/kafa?ah values has caused the preference marriage became bangsa endogamy (marriage with same Ba-Alawi community) for women, while bangsa exogamy (intermarriage) is per-mitted for men. In the marriage, women are within the rigid restriction, so that, the women tend to be in the men?s domination (patriarchy culture). This research showed that the changes of pattern, trend and marriage dynamic in the Ba-Alawi community are caused by the less rigid restriction of sekufu/kafa?ah values. The data of the four families in this re-search shown the trend of increasing intermarriage done by women. Intermarriages are done by women marrying men outside the Ba-Alawi community (non Ba-Alawi), such as married to Moslem or mualaf men, or even married to non-Moslem men and they still retain each other?s religion. However, the marriage with the different religion is still rare and is much rejected by their community, After 1974, this marriage is supported by various laws occurred in Ba-Alawi community, that are Adat law, Islamic law and state law. Ba-Alawi women have chances to choose siri marriage, or marriage done in line with the Government Law (KUA marriage), or both of them.
2. Women are actor who could develop strategies of performing cultural reproduction and resistance to the patriarchy culture. Women are principally encouraged by other actors, that are male within the family, public figures/moslem scholars, voluntary organization and the state aparatus (mainly the religious institution). The cultural reproduction and resistance could be seen in social fields at the relationship medium (family genealogy and marriage), religion and social medium.