Penulisan tesis ini dilatar belakangi berbagai keluhan masyarakat khususnya masyarakat berperkara yang sedang mengajukan permohonan kasasi perdata di Mahkamah Agung karena rumit dan lambannya proses atau alur yang harus ditempuh sebelum mendapatkan putusannya. Sebagai lembaga peradilan tertinggi yang menjadi tumpuan masyarakat dalam mencari keadilan, Mahkamah Agung RI yang mempunyai tugas dan wewenang salah satunya adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, seharusnya dapat membuat alur proses penyelesaian kasasi yang mudah, cepat dan transparan sehingga masyarakat yang berperkara segera mendapatkan kejelasan akan nasibnya. Untuk mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perdata tersebut sudah saatnya Mahkamah Agung melakukan terobosan pemikiran yang fundamental, perencanaan secara radikal serta perbaikan yang dramatis terhadap biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan. Konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation) dari Michael Hammer dan James Champy adalah alternatif yang dapat diterapkan sebagai terobosan dimaksud di atas, karena konsep ini akan memulai dari akar permasalahannya, bukan membuat perubahan superfisial atau berkutat dengan yang sudah ada, tetapi membuang jauh kebiasaan-kebiasaan lama. Hasil yang akan dicapai bukanlah peningkatan secara marjinal, namun suatu lompatan besar (quantum leaps) dalam kinerja dan orientasi aktifitasnya adalah proses, bukan memusatkan perhatian pada tugas-tugas, pekerjaan, orang-orang atau struktur. Berawal dari kondisi dan harapan yang demikian, penulis tertarik untuk ingin mengetahui : a. Bagaimana proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia? b. Apakah alternatif proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation)? Menarik untuk diteliti adalah proses penyelesaian kasasi perkara perdata umum atau disebut perdata saja, tidak termasuk perdata khusus, seperti perkara niaga/kepailitan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), perkara Hak Azasi Manusia (HAM), Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), karena lebih 75% dari perkara kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung RI merupakan perkara perdata. Dari keinginan untuk memberikan usulan atau masukan dalam mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perkara perdata di atas, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian kasasi atas perkara perdata di tingkat Mahkamah Agung RI serta penerapan konsep rekayasa ulang dari Hammer & Champy sebagai jalan keluarnya. Dalam menerapkan konsep dimaksud, peneliti menggunakan metodologi The Rapid Reengineering ? Rapid Re yang dikemukakan oleh Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, bahwa pada intinya terdapat 5 tahap (persiapan, identifikasi, visi, solusi dan transformasi) dan 54 langkah/tugas untuk meraih sukses rekayasa ulang. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dari alur/proses penyelesaian permohonan kasasi perdata selanjutnya akan dianalisa secara deskriptif kualitatif, kemudian akan diusulkan saran-saran untuk mengatasi permasalahan di atas menggunakan konsep rekayasa ulang. Peneliti hanya akan fokus pada masalah panjang dan rumit serta tidak efisiennya alur atau proses penyelesaian kasasi perkara perdata sebagai faktor penyebab menumpuk dan tertunggaknya perkara kasasi, walaupun dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masih ada penyebab lain seperti tidak adanya batasan persyaratan untuk perkara yang bisa dikasasi; tidak ada kewenangan lembaga dibawah Mahkamah Agung yang dapat menolak permohonan kasasi walaupun terdapat persyaratan formal yang tidak terpenuhi; ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di bawah, sehingga semua perkara di kasasi; produktifitas kerja hakim agung dan bagian administrasi yang rendah; rendahnya penggunaan teknologi informasi dan sebagainya. Dari hasil penelitian kemudian dilakukan analisa data, diperoleh kesimpulan bahwa setiap kasasi perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung harus diselesaikan melalui 7 (tujuh) alur/proses tahapan dengan melibatkan 7 (tujuh) bagian/fungsi dari organisasi Mahkamah Agung dengan tanpa adanya waktu penyelesaian, sebaliknya dengan penerapan metodologi rekayasa ulang, setiap kasasi dimaksud akan melalui 3 (tiga) proses tahapan penting dengan melibatkan 3 (tiga) bagian organisasi Mahkamah Agung dengan waktu penyelesaian paling lambat 60 hari. Secara praktis konsep rekayasa ulang melalui perubahan fundamental, radikal, dramatis dengan fokus pada proses hakekatnya dapat diterapkan untuk tujuan efisiensi jika didukung oleh peran sumber daya manusia dan peralatan teknologi informasi yang memadai.b. Apakah alternatif proses penyelesaian kasasi perkara perdata di Mahkamah Agung Republik Indonesia berdasarkan konsep Rekayasa Ulang Perusahaan (Reengineering the Corporation)? Menarik untuk diteliti adalah proses penyelesaian kasasi perkara perdata umum atau disebut perdata saja, tidak termasuk perdata khusus, seperti perkara niaga/kepailitan, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), perkara Hak Azasi Manusia (HAM), Perselisihan Hubungan Industrial (PHI), karena lebih 75% dari perkara kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung RI merupakan perkara perdata. Dari keinginan untuk memberikan usulan atau masukan dalam mengatasi kelambanan dan rumitnya proses penyelesaian kasasi perkara perdata di atas, tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses penyelesaian kasasi atas perkara perdata di tingkat Mahkamah Agung RI serta penerapan konsep rekayasa ulang dari Hammer & Champy sebagai jalan keluarnya. Dalam menerapkan konsep dimaksud, peneliti menggunakan metodologi The Rapid Reengineering ? Rapid Re yang dikemukakan oleh Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, bahwa pada intinya terdapat 5 tahap (persiapan, identifikasi, visi, solusi dan transformasi) dan 54 langkah/tugas untuk meraih sukses rekayasa ulang. Berdasarkan fakta-fakta yang ada, dari alur/proses penyelesaian permohonan kasasi perdata selanjutnya akan dianalisa secara deskriptif kualitatif, kemudian akan diusulkan saran-saran untuk mengatasi permasalahan di atas menggunakan konsep rekayasa ulang. Peneliti hanya akan fokus pada masalah panjang dan rumit serta tidak efisiennya alur atau proses penyelesaian kasasi perkara perdata sebagai faktor penyebab menumpuk dan tertunggaknya perkara kasasi, walaupun dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masih ada penyebab lain seperti tidak adanya batasan persyaratan untuk perkara yang bisa dikasasi; tidak ada kewenangan lembaga dibawah Mahkamah Agung yang dapat menolak permohonan kasasi walaupun terdapat persyaratan formal yang tidak terpenuhi; ketidak percayaan masyarakat kepada lembaga peradilan di bawah, sehingga semua perkara di kasasi; produktifitas kerja hakim agung dan bagian administrasi yang rendah; rendahnya penggunaan teknologi informasi dan sebagainya. Dari hasil penelitian kemudian dilakukan analisa data, diperoleh kesimpulan bahwa setiap kasasi perkara perdata yang diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Agung harus diselesaikan melalui 7 (tujuh) alur/proses tahapan dengan melibatkan 7 (tujuh) bagian/fungsi dari organisasi Mahkamah Agung dengan tanpa adanya waktu penyelesaian, sebaliknya dengan penerapan metodologi rekayasa ulang, setiap kasasi dimaksud akan melalui 3 (tiga) proses tahapan penting dengan melibatkan 3 (tiga) bagian organisasi Mahkamah Agung dengan waktu penyelesaian paling lambat 60 hari. Secara praktis konsep rekayasa ulang melalui perubahan fundamental, radikal, dramatis dengan fokus pada proses hakekatnya dapat diterapkan untuk tujuan efisiensi jika didukung oleh peran sumber daya manusia dan peralatan teknologi informasi yang memadai.
This thesis is based by the complaints of the community, especially people that has filled civil cases to the Supreme Court (Cassation), regarding the complexity and the slow process in order to obtain decision. As the highest court in obtaining justice for the people that looking for it, the Supreme Court of Indonesia has duties and rights, that one of them is examining and deciding the Cassation requisition as governed in Law No. 4 year 2005 concerning alteration on Law No. 5 year 1985 concerning Supreme Court, should made the process of the Cassation settlement easy and quick, hence, people that already filed their cases have clear future upon their cases. In order to cope with the complexity and the slow process, it is due for Supreme Court to accelerate fundamental thoughts, radical planning and dramatic improvement upon cost, quality, service and speed. The concept of reengineering the corporation form Michael Hammer and James Champy is an alternative to be applied for the above purposes, because this concept is starting from the very basic roots of the problem which not made a superficial change, but by getting rid the old custom. The result to be achieved is not achievement in marginal, but will be a quantum leap in works and the orientation of the activity is process, not focusing upon tasks, works, people or structure. Started from these hope and conditions, writer is interested to understand: a. how is the settlement process of the Cassation of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia ? b. what is the alternative of the settlement process of the Cassation of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia based on reengineering corporation ? Interesting to be researched is the settlement process of Cassation of the general civil cases or just civil cases, not the special one as bankruptcy,intellectual property rights, human rights cases and industrial relationship dispute cases, because more than 75% form the Cassation cases are civil cases. From the need to give suggestion in order to cope with the complexity and the slow process of the settlement of Cassation of the civil cases, as mentioned above, researcher conducting research for knowing the process of the Cassation settlement of the civil cases at the Supreme Court of Indonesia level and applying the concept of reengineering by Hammer & Champy as the solve way. In applying the reengineering concept, researcher uses the methodology of Rapid Reengineering- Rapid re by Raymond L. Manganelli & Mark M. Klein, where in essence, there are, 5 steps (preparation, identification, vision, solution and transformation) and 54 steps/tasks to gain success in reengineering. Based on available facts, the process of settlement of Cassation of civil cases will be analyzed by descriptive qualitative, then, suggestions will be given in for solving the above mentioned problem by using reengineering concept. Researcher will be only focusing on complexity problem, not efficiency of the process of settlement of Cassation of civil cases as the factor that causing postponed of cases in Supreme Court, even though from the research, there are other reasons that can lead to postponed of cases, such as there are no conditional requirements for Cassation; no authority to reject the Cassation requisition from the below level of the Supreme Court because of the formality requirements are not completed; the community is unbelief by the process of the below court, so they request for Cassation; low productivity of the judges and the administration officer; low usage of information technology and so on. The research result will be data analyzed, then the result obtained is whereas for all civil cases Cassation that are examined and decided by Supreme Court have to be settle through 7 (seven) stages process that involve 7 (seven) part/function from the organization of Supreme Court without any limitation time to settle, in contrast, by applying the methodology of reengineering process, all civil cases Cassation will be through 3 (three) important stages process that involve 3 (three) part/function from the organization of Supreme Court with limitation time to settle at the latest up to 60 days. Practically, the concept of reengineering through fundamental changes, radical, dramatic by focusing upon process, in essence could be applied for efficiency purpose, if supported by the role of the human sources and satisfying information technology equipment.