Studi-studi tentang kemiskinan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Berbagai model dan pendekatan untuk merumuskan dan mencari solusi untuk mengatasi persoalan ini tidak terhitung lagi. Namun satu hal yang patut dipertanyakan dan merupakan bagian inti pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah: apa yang dipahami oleh masyarakat miskin sendiri tentang dirinya? Jika mereka diberi ruang untuk berbicara, apa yang akan mereka katakan tentang diri dan eksistensinya? Secara sadar maupun tidak, sebetulnya melalui studi-studi tersebut, kita telah banyak terlibat dalam mendefinisikan dan mengkonstruksikan realitas sebuah masyarakat yang kita sebut masyarakat miskin. Berbagai indikator di pakai untuk mengkategorikan masyarakat berdasarkan kepentingan sang peneliti. Di sini terjadi distorsi terhadap eksistensi masyarakat secara substansial. Pada sisi ini, dengan menggunakan logika Spivak 'can the subaltern speak',' maka jelas sekali terlihat kesenjangan dalam konstruksi berpikir kalangan peneliti dan objek yang ditelitinya yakni masyarakat miskin itu sendiri. Dengan memasukan variabel agama dalam memotret realitas kebudayaan kemiskinan pada suatu komunitas masyarkat, studi ini sebetulnya mencoba menjawab pertanyaan, pengaruh ide protestantisme Weber dalam konteks Maluku yang notabene menganut paham Calvinisme dalam ajaran kegerejaannya. Kebudayaan kemiskinan sebagai pendekatan teori akan juga dikaji dengan menperhatikan secara khusus konteks geografis masyarkat kepulauan di Tanimbar Utara yang menjadi fokus atau lokasi penelitian ini. Pendekatan teori kebudayaan kemiskinan tidak dimaksudkan untuk memperdebatkan secara sejajar teori atau pendekatan lainnya terhadap kemikinan (strukturl). Kebudayaan kemiskinan sebagaimana yang dimaksudkan Lewis adalah sebuah upaya yang lebih dari pada sekedar memperbaiki status sosial kalangan miskin. Menurut Lewis, dalam kebudayaan kemikinan justru lebih mudah membuat orang miskin menjadi tidak miskin, daripada menghapuskan kebudayaan kemiskinan dari realitas orang kaya sekalipun. Kebudayaan kemiskinan merupakan penerusan nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi di kalangan masyarkat miskin tersebut. Jika kebudayaan kemiskinan sebagai sebuah problematika sosial mesti mendapat penanganan secara serius dan sistematis, maka studi ini menganggap pentingnya posisi dan peran agama dalam mentrasformasikan sistem nilai tersebut dalam masyarakat berkebudayaan kemiskinan. Agama memiliki peran yang strategis dan fundamental dalam sebuah sistem masyarakat. Di kepulauan Tanimbar Utara, peran agama sangat menentukan berbagai hal dalam peradaban masyarakat setempat. Agama yang dimaksudkan dalam studi ini adalah Protestantisme di Maluku, yang dalam catatan sejarah masuknya bersamaan dengan misi dagang Belanda (VOC). Masuknya protestantisme di Maluku, telah merubah secara signifikan kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat. Sumbangan yang paling nyata dari protestantisme di Maluku adalah ekspansi keagamaan yang menyebar secara merata di seluruh negeri di Maluku tanpa terkecuali. Selain itu di bidang pendidikan, sumbangan paling besar juga diberikan oleh Belanda selama masa pendudukannya di bumi Cengkih dan Pala ini. Namun tidak dapat disangkal bahwa, dengan terbukannya fasilitas yang disediakan oleh kolonialisme Belanda, juga terjadi pergeseran yang substansial dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Maluku. Di Ambon-Lease misalnya, rasionalisme dan filsafat Barat telah mereduksi hakekat kebudayaan masyarakat setempat dengan struktur institusi 'tiga batu tungkunya' (selanjutnya disingkat TBT). Artevak-artevak kebudayaan asli masyarakat Ambon-Lease (seperti bahasa daerahnya) telah hilang tanpa bekas. Segala sesuatu yang berkaitan dengan adat kepercayaan masyarkat setempat (termasuk cara penyembahannya kepada Tuhan/Upu) yang diyakini sebagai Penguasa Langit dan Bumi, diganti dan dianggap sebagai penyembahan berhala oleh logika dan rasionalitas Barat tersebut. Di Tanimbar Utara, meskipun tidak terjadi pereduksian terhadap artevak kebudayaan masyarakat setempat, namun pemaknaan struktur TBT yang diganti dengan peran strategis dari gereja untuk kepentingan misi dagang Belanda telah mendominasi konstruk masyarakat. Kondisi ini semakin diperparah lagi jika dilihat dari fakta keterisolasian dan marginalisasi yang sudah lama menjadi realitas sosial masyarakat di kepulauan Tanimbar Utara tersebut. Konteks geografis yang lebih luas wilayah laut daripada wilayah daratnya ini, telah menjadi kondisi di mana stigma masyarakat tertinggal, menjadi fakta kehidupan mereka. Pada level kebijakan pembangunan oleh pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, sangat terasa dampak diskriminasi yang sangat kuat. Namun masyarakat itu hidup terus dan mengalami kondisi keterpurukan ini sebagai bagian dari sejarah panjang mereka. Muncul sikap apatis dan pasrah terhadap nasib, dengan sendirinya melegitimasi fakta bahwa masyarakat ini 'mapan dalam keterpurukan'. Pemaknaan kontekstual terhadap pendekatan teori kebudayaan kemiskinan (Lewis) dan The Protestant Ethic (Weber) dalam konteks dan sejarah perkembangannya tentu akan berbeda dengan konteks di mana studi ini dilakukan. Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa kebudayaan kemiskinan justru menjadi persoalan yang serius di masyarakat. Persoalan kontekstual adalah gereja dan stakeholders lainnya dalam masyarakat tidak memiliki pengetahuan cukup tentang fenomena kebudayaan kemiskinan. Ini berakibat pada model intervensi yang sering keliru dan salah sasaran. Etika protestan sebagai 'baju hangat' dalam konteks masyarakat materialisme ini cenderung dilepaskan, dan karena itu etika protestantisme kemudian menjadi apa yang disebut Weber sebagai 'sangkar besi' peradaban masyarakat agama-agama dewasa ini.
The studies of poverty have been done by many scholars in Indonesia. Diverse theoretical perspectives and schemes to formulate and to find solutions to overcome this problem are unaccountable. Be that as it may, the intriguing questions remains: what are the perceptions of poor people about themselves? If they have been given space to speak, what are they going to say about themselves and their existence? Consciously or unconsciously, actually through these studies, we have been involved in defining and constructing realities about society of the poor. Various indicators have been used to categorize society according to the interests of researchers. On one hand, distortions of the existence of society has taken place substantially. On the other hand, by using Spivak's terms, 'can the subaltern speak', it is obvious that there are gaps in the structure of mind between researchers and the object of their study which is society of the poor themselves. By inserting religion as variable in potraying the reality of the culture of poverty in one society, this study actually addresses a specific research problem as to how Weber's Protestant Ethic's influence in the context of Moluccans who are the follower of Calvinism. The culture of poverty as a theoretical perspective will be examined by focusing specifically the context of insular society in North Tanimbar which is the focus of this study.The theoretical model of the culture of poverty in this study is not meant to discuss equally another theoretical perspectives to poverty (structural). The culture of poverty as proposed by Lewis is more than an attempt improve the social status of the poor. According to Lewis, it is easier for one to use the culture of poverty to make the poor less poor, than to eliminate the culture of poverty from the rich. The culture of poverty is the reproduction of values from one generation to another among the poor. If the culture of poverty as a social problem has to be considered seriously and sistematically, this study emphasizes the importance of the position and the role of religion in transforming these values among the poor. Religion has strategic and fundamental role in society. In North Tanimbar, the role of religion is very decisive. The religion discussed in this study is Protestantism, which came to Maluku along with the Dutch colonialism. The arrival of Protestantism in Maluku has changed significantly the social and cultural life of its people. The most important contribution of Protestantism in Maluku is the religious propagation across the region. However, it can not be denied that with the various facilities provided by the Dutch colonialism, substantial changes in the social and cultural life of Moluccans has taken place. In Ambon-Lease for example, rationalism and western philosophy have been reducing the essence of culture in local society with its 'tiga batu tungku' sructural institutions. The artefacts of the original culture of Ambon-Lease (local language, for instance) has dissapeared. All the things related to local beliefs (including the God worship/Upu) has been replaced because it is considered as idoltry by the logic and western rationality. In North tanimbar, although the reduction to the local cultural artefacts has not been occurred, the structure of 'tiga batu tungku' has been replaced by the strategic role played by the church, and it has come to dominate the structure of the people's mind. This condition actually has been worsened by the geographical situation of North Tanimbar which is structurally marginalized by the central government. The geographical context of this area has becoming their stigma as underdeveloped society. Above all, North Tanimbar has been discriminated for years in trems of central government's policy. Be that as it may, the people has been living in this situation and consider it as a part of their long history as the poor.Contextual meaning of the theoretical perspective of the culture of poverty by Lewis and the Protestant Ethic by Weber in their context and developmental history will be different with the context discussed in this study. Be that as it may, the empirical data show that the culture of poverty has become the major social problem in society. Above all, the church and the other stakeholders do not have adequate knowledge about this phenomenon. As a consequences, the mode of interventions made by government or non government organizations have often been wrong. The Protestant Ethic as 'warm cloth' in the context of materialism society tends to ignore, and because of that, the Protestant Ethic has become what Weber called 'iron cage' to the civilization of the society of religion in contemporary era.