Politik pangan Indonesia tertuang dalam UU No.7 tahun 1996 tentang pangan. Pencapaian politik pangan diukur lewat konsep ketahanan pangan. Konsep ini diadopsi ternyata tidak mampu mengatasi masalah kelaparan. Konsep ketahanan pangan yang tidak mempersoalkan siapa yang memproduksi, dari mana produksi pangan, dan bagaimana pangan diproduksi kemudian jadi "kuda troya" kapitalisasi sisitem pembangunan pangan dunia yang didesain oleh negara-negara utara.Hasilnya, sistem pertanian negara-negara selatan hancur.
Kondisi ini melahirkan konsep tandingan: kedaulatan pangan. Berbeda dengan ketahanan pangan yang teknis, kedaulatan pangan adalah konsep politik. Ada perbedaan mendasar antara ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan: model produksi pertanian industri VS agroekologis dan multikultur; pasar bebas VS proteksionis dan lokal; memakai instrumen WTO vs International Planning committee for food sovereignty; memuja paten vs anti paten dan komunal; dan wacana economic rationalism vs green rationalism. Jadi, diverfikasi pangan hanya bagian kecil untuk menggapai kedaulatan pangan.
Diversifikasi pangan dirintis sejak 1960-an, tetapi hasilnya belum memuaskan. Hal pola konsumsi dan produksi/ketersediaan pangan tidak seimbang, inefisiensi sisitem distribusi dan liberalisasi pasar pangan. Dibandingkan negara-negara Asia, Indonesia memiliki daya dukung lahan cukup baik. Untuk memperkuat diversifikasi pangan harus dipastikan SD ada di bawah kontrol petani/komunitas untuk memproduksi aneka pangan sesuai kondisi lokal, mendahulukan pangan yang bisa diproduksi sendiri daripada impor, mengolah pangan lokal menjadi tepung, mengubah kebijakan diversifikasi pangan yang tidak konsisten, merancang ulang pasar pangan, dan menjaga konsisitensi kebijakan.