Istilah-istilah deskriptif digunakan dalam perdagangan untuk
menyampaikan informasi kepada konsumen mengenai atribut, sifat atau
keunggulan suatu produk. Merek yang hanya terdiri dari istilah deskriptif ini
disebut sebagai merek deskriptif. Merek adalah suatu tanda yang digunakan untuk
membedakan barang atau jasa dari suatu produsen dan produsen lain. Karena itu
merek deskriptif seharusnya tidak dapat didaftar karena dianggap tidak
mempunyai daya pembeda.. Merek deskriptif di Indonesia tidak dapat didaftar,
baik di dalam ketentuan UU merek No. 21 tahun 1961 yang menggunakan sistem
pendaftaran dekalaratif, maupun dalam UU Merek No. 19 tahun 1992 yang
menggunakan sistem pendaftaran konstitutif, hingga UU Merek No. 15 tahun
2001 yang berlaku saat ini. Namun dalam kenyataannya di Indonesia terdapat
merek-merek deskriptif yang didaftar, terutama berdasarkan Putusan Pengadilan.
Tesis ini meneliti mengenai masalah pendaftaran merek deskriptif di Indonesia,
dengan menggunakan pendekatan konseptual yang meneliti mengenai konsep
Secondary Meaning, pendekatan undang-undang dengan meneliti undang-undang
merek di Indonesia dan pendekatan komparatif dengan melakukan perbandingan
undang-undang merek di beberapa Negara berkaitan dengan masalah pendaftaran
merek deskriptif. Pendekatan kasus juga dilakukan untuk meneliti putusanputusan
pengadilan yang menjadi dasar didaftarkannya merek-merek deskriptif di
Indonesia. Dari hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil bahwa masalah
utama dalam pendaftaran merek deskriptif ini adalah tidak jelasnya pengaturan
mengenai merek deskriptif ini dalam Undang-Undang Merek di Indonesia. Hal ini
mengakibatkan terjadi perbedaan pendapat antara Hakim dan Pemeriksa merek
mengenai merek deskriptif ini. Seharusnya dibuat suatu pengaturan yang jelas dan
rinci mengenai pendaftaran merek deskriptif dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pemilik merek dengan kepentingan pihak ketiga
sesuai dengan ketentuan dalam Paris Convention dan TRIPS Agreement.
Descriptive terms commonly used in the course of trade to conveyinformation about attribute, characteristics or quality of a product, to consumers.Trademark, consists solely of descriptive terms is called Descriptive Marks.Trademark is a sign, used to distinguished goods or services from a producer fromanother. Therefore Descriptive Mark should not be registered because it lacksdistinctive nature. Descriptive Mark in Indonesia is non-registrable, in theprovision of The Trademark Act No. 21/1961 which used declarative system or inits predecessor, The Trademark Act No. 19/1992, even in the current TrademarkLaw in Indonesia, The Trademark Act No.15/2001. On the contrary, there areDescriptive Marks registered in Indonesia, based on Court and Supreme CourtDecision in Indonesia. This Tesis analyses the problem regarding the registrationof Descriptive Marks in Indonesia, using Conceptual Approach which analyze theconcept of Secondary Meaning, and using Statute Approach to analyze TrademarkLaw in Indonesia, and also using Comparative Approach to compare TrademarkLaw in various country in relation to Descriptive Mark. Case-Approach also usedto analyze various Court and Supreme Court decisions in Indonesia that becomeLandmark Decision in Descriptive Mark registration problems. Based on thisLegal Research, we find that the major problem in the problematic registration ofDescriptive Mark is because of the ambiguity of the current Trademark Law inIndonesia, regarding Descriptive Mark. This problem is causing different opinionbetween Judges and Trademark Examiner regarding Descriptive Mark. Thereshould be more clear and comprehensive provisions in Indonesian TrademarkLaw about Descriptive Mark, which also considered the legitimate interests oftrademark owners and third parties, based on the provisions in Paris Conventionand TRIPS Agreement