ABSTRAKTidak ada periode dalam sejarah dunia di mana hubungan antara hukum dan moral sangat kuat berpengaruh terhadap pemahaman manusia tentang dunia kehidupan sehari-hari. Pernyataan ini dihubungkan dengan aturan-aturan yang ?mengikat? karena ditetapkan dengan atau oleh kekuasaan versus aturan-aturan yang ?mengikat? karena diterima melalui sebuah proses penilaian rasional. Jürgen Habermas mengakui bahwa Konstitusi merupakan sistem hukum yang membatasi kekuasaan berdasarkan pertimbangan moral, yakni hormat terhadap nilai martabat manusia. Hal itu berarti bahwa kondisi obyektif dunia kehidupan dengan pluralisme cara pandang di dalamnya harus menjadi dasar kajian hukum, bagaimana proses pengambilan keputusan politik dapat dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan sebuah keputusan itu sebagai aturan main yang berlaku umum dalam masyarakat. Jadi, hukum berlaku sebagai aturan yang ?mengikat? bukan kehendak si penguasa melainkan karena aturan tersebut memiliki alasan yang dapat dipahami dan bisa diterima oleh semua pihak sebagai alasan lebih baik untuk menciptakan keadilan dalam masyarakat.
Disertasi ini merupakan kajian teori etika diskursus Jürgen Habermas terhadap pemahaman Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan hubungannya dengan Pancasila. UUD 1945 dipahami sebagai norma hukum/ hukum dasar tertulis/ Konstitusi adalah sumber tata tertib perundangan. Pancasila merupakan nilai dasar/ falsafah hidup/ sumber hukum yang menyatakan nilai martabat manusia dalam Pembukaan UUD 1945. Seperti layaknya Konstitusi modern, pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 dapat diubah agar disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dalam merealisasikan tujuan negara sesuai nilai martabat manusia. Nilai martabat manusia yang terkandung dalam Pancasila merupakan ideal, model, dan visi sosial yang harus direfleksikan oleh norma hukum untuk mewujudkan keadilan. Jadi, Amandemen UUD 1945 adalah Amandemen Konstitusi, yakni perubahan dalam pasal-pasal UUD 1945. Validitas perubahan pasal-pasal UUD 1945 ditentukan oleh refleksifitas norma hukum tersebut: apakah benar sesuai dengan nilai universal tentang martabat manusia yang dikandung oleh Pancasila dalam Pembukaan?
ABSTRACTThere is no period in world history that the relationship between law and democracy has been making its greatest impact upon humankind in the life-world than it is today. This statement is referred to forcibly stabilized versus rationally legitimized orders in contemporary societies. Jürgen Habermas admits that the substance of constitutionalism is the taming of Leviathan while considering that it is not enough to define constitutionalism from the perspective of limiting political power. The real-life condition consists of various spheres of private and ethical worldviews must be allowed for effective techniques through which laws are legitimized through discourse for limitation on absolute power. Habermas develops this idea of deliberative democracy as a framework for improving of liberal democracy.
This dissertation is basically the discussion on Habermas? theory of discourse ethics and the possibility of its application to understanding the 1945 Constitution and its relationship to the concept of Pancasila. The 1945 Constitution is the rule of law while Pancasila is the statement of fundamental norms of the State containing universal principles of human rights. As the modern Constitution is concerned, the Amendment of the Constitution is specifically addressed to the corpus of the Constitution to make that rule of law to meet its validity claims: whether such legal norms reflect the social ideal, social model, and social vision in the Preamble?