Memandang wilayah perbatasan hendaknya dengan cara memperlakukannya sebagai sebuah ruang yang tidak hanya bersifat geografis tetapi juga bersifat sosial dan politik dimana penduduk yang bermukim di wilayah perbatasan itu bukanah sebuah masyarakat yang bersifat statis dan homogen, melainkan sebuah masyarakat yang dinamis dan kompleks. Konstruksi Indonesia sebagai archipelagic atate atau negara yang semestinya berbasis maritim telah terkonstruksi semakin dalam menjadi negara "darat" yang berpusat di Jawa. Konstruksi begara "darat"nyang mengagungkan sentralisme politik dan ekonomi memiliki implikasi yang sangat besar terhadap kawasan perbatasan yang dengan demikian diperlakukan sekedar sebagai kawasan pinggiran, marjinal, "excluded" dan terbiarkan. Pandangan tersebut kemudian berimplikasi pada kebijakan yang terbukti tidak memihak kepada perlunya menempatlkan perbatasan sebagai sebuah kawasan yang penting. Dalam paradigma pembangunan masa Orde Baru misalnya, mereka diberi sebutan "suku terasing" dan setelah reformasi mereka diberi sebutan baru sebagai "komunitas adat terpencil". Ada semacam "urban bias" dalam memandang perbatasan dan penduduk yang kita bayangkan bermukim di kawasan perbatasan. Gagasan akan sebuah perspektif yang baru tetang perbatasan, jangan-jangan harus dimulai dengan memproblematikkan terlebih dahulu soal arti kewarganegaraan.