Di era globalisasi ini, keruntuhan suatu bank, terutama yang berskala besar, akan membawa dampak buruk bagi bank-bank lainnya, yang pada akhirnya akan menimbulkan global systemic risk. Untuk mengatasi hal tersebut Basle Supervisory Committee (BSC) pada tahun 1988 menghasilkan suatu kesepakatan yang dikenal dengan Basle Accord 1988 menetapkan bahwa modal bank minimum sama dengan 8% dari weighted risk assets yang dimiliki masing-masing bank. Pada tahun 1996 komite melakukan amandemen terhadap Basle Accord 1988. Amandemen dilakukan dengan memasukkan risiko pasar sebagai dasar perhitungan kebutuhan modal minimum. Peraturan permodalan bank di Indonesia pada prinsipnya mengakomodasi standar permodalan bank yang berlaku secara internasional. Tujuannya untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu bersaing secara nasional dan internasional.
PT. Bank DKI memerlukan sejumlah dana untuk melaksanakan kegiatan operasional dalam rangka mempertahankan kelangsungan usahanya, Selain dari itu PT. Bank DKI sebagai bank yang beroperasi di Indonesia harus taat pada Peraturan Bank Indonesia dalam hal ini untuk memenuhi Kecukupan Modal Minimum (KPMM) yang memenuhi syarat (eligible capital). Dengan melihat rasio kecukupan modal yang selalu mengalami penurunan dari tahun 2004 sebesar 22,87% menjadi 15,09% pada tahun 2007. Untuk memperbaiki rasio tersebut pada tahun 2008 PT. Bank DKI menerbitkan obligasi Subordinasi sebesar Rp. 325 milyar dengan jangka waktu 10 tahun. Dengan terbitnya obligasi subordinasi tersebut PT. Bank DKI dapat menaikan CAR dan permodalannya. Selain itu dengan terbitnya obligasi subordinasi tersebut komponen modal PT. Bank DKI dapat memenuhi Kecukupan Modal Minimum (KPMM) yang memenuhi syarat (eligible capital).
In this globalization era, the collapse of banks, mostly for the big scale banks, will bring bad impact to the other banks, which finally emerge the global systematic risk. To overcome this issue, in 1988, Basle Supervisory Committee (BSC) generated an agreement known as Basle Accord 1988, which enactive that the minimum of bank?s capital at 8% from weighted risk assets of each bank. In 1996, committee was done an amendment of Basle Accord 1988, to include the market risk as a calculation base of minimum capital's needs. The regulation of bank?s capital in Indonesia is essentially to accommodate the standard of bank?s capital which is valid at international scope. The objectives are to create a health banking system and be able to compete at national or international scope.
PT. Bank DKI needs some of capital to do operational activities in order to keep the business survive. Beside that, PT. Bank DKI as a bank which is operated in Indonesia, must be obey to Regulation of Bank of Indonesia, for instance to fulfill the Minimum Capital Adequacy which is eligible capital. The capital adequacy ratio was going down from 2004 at 22.87% become 15.09% at 2007. To improve it, then in 2008, PT. Bank DKI issued the subordinated debt in the amount of Rp. 325 billion with validity of 10 years. Because of the issuance of this subordinated debt, PT. Bank DKI is able to increase the CAR and its capitalization. Beside that, the capital's component of PT. Bank DKI could meet the Minimum Capital Adequacy which is eligible capital.