ABSTRAKSalah satu dampak positif dari Perang Dunia I adalah berkembangnya pola hubungan berdimensi, baru antara. Indonesia dan Australia. Peristiwa ini telah mernpertemukan dua kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak saling berhubungan. Puncak dari interaksi ini melahirkan satu kerja sama yang padu, antara kedua kelompok masyarakat.
Satu hal yang menarik dari interaksi ini adalah terja_linnya kerja sarna antara kelompok masyarakat pendatang dan kelompok masyarakat Australia (kaum buruh). Peristiwa ini menjadi menarik mengingat dalam sejarah hubungan kaum buruh Australia dengan buruh pendatang, selalu memperlihatkan pola permusuhan. Dalarn skripsi ini penulis mencoba mencari sebab timbulnya pola lain ini.
Seperti diketahui bahwa nilai dasar kaum buruh Australia adalah konsep mateship, yaitu hubungan persaudaraan yang akrab dan dekat antar sesama buruh. Nilai dasar ini mempunyai dua sisi yang kontradiktif yaitu sifat egaliter dan rasis. Kedua nilai inilah yang akan menentukan pola hubungan kaum buruh Australia dengan masyarakat pendatang.
Sifat rasis akan muncul seandainya buruh pendatang dinilai akan menggangu sistem kerja (pola penggajian dan pemberian fasiltas lainnya) yang sejauh ini berlaku. Sebalik_nya kalau indikasi di atas tidak tampak, maka bentuk interak_si akan dilandasi oleh nilai egaliter.
Dalam berhubungan dengan masyarakat pendatang dari Indonesia, nilai egaliterlah yang paling membersit. Munculnya sisi egaliter ini disebabkan para pendatang tidak menggangu sistem kerja buruh setempat. Para pendatang sudah mempunyai lapangan pekerjaan sendiri, sehingga tidak menyerobot kesem_patan kerja buruh Australia. Sehingga ketika bangsa Indonesia mengadakan perlawanan terhadap pemerintah (Hindia) Belanda, maka usaha mereka ini dengan mudah mendapat simpati dan ban_tuan dari kaum buruh Australia.