ABSTRAKPada masa revolusi tahun 1945-1950, pemerintahan daerah di Surakarta mengalami proses pencarian jati diri bentuk pemerintahan daerah, apakah berbentuk suatu daerah istimewa atau berbentuk suatu karesidenan biasa. Proses ini dipengaruhi oleh persaingan antar organisasi-organisasi politik yang memperebutkan hegemoni politik di Surakarta, ditambah lagi oleh suasana revolusi yang mengharuskan adanya perubahan bentuk pemerintahan daerah.
Posisi kota Surakarta dianggap mempunyai kedudukan penting untuk menusuk ke jantung pemerintahan RI di kota Yogyakarta. Oleh karena itu, selama revolusi gerakan oposisi marak terjadi di sana. Gerakan oposisi berupa aksi-aksi pendaulatan terhadap pejabat-pejabat di daerah, dan penentangan terhadap kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berlanjut dengan adanya aksi-aksi pemogokan, pertempuran, dan aksi_-aksi teror lainnya, yang menganggu stabilitas keamanan di daerah. Keadaan ini mempengaruhi jalannya pemerintahan daerah karena dampaknya dapat menurunkan kredibilitas pemerintah daerah di mata rakyat.
Hal ini menjadikan Revolusi di Surakarta tidak hanya sekedar revolusi yang berusaha melenyapkan pemerintahan swapraja, tetapi juga revolusi yang menunjukkan persaingan politik tingkat lokal dan nasional. Untuk mengatasi keadaan ini menjadi tugas berat bagi pemerintah pusat RI dan pemerintah daerah serta aparat keamanannya (TNI) di Sura_karta.
Krisis pemerintahan daerah di Surakarta pada akhirnya dapat diselesaikan setelah pemerintah pusat mengambil suatu keputusan yang tegas tentang status pemerintahan daerah di Surakarta, dan disertai oleh adanya proses pendemokrasian sistem pemerintahan daerah. Di samping itu keadaan ini juga disokong oleh keadaan politik nasional yang mulai stabil setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. setelah mengalami proses selama revolusi maka dipilihlah status pemerintahan sebagai karesidenan biasa, dan mengubur sistem swapraja, yang berarti lenyaplah kekuasaan politik kerajaan.