Eksistensi dan kehidupan pers sebagai pencerminan dari sistem politik merupakan suatu kenyataan yang menyejarah di Indonesia. Hal itu terbukti jelas dari hasil kajian empirik yang dilakukan oleh Edward C. Smith yang menyimpulkan bahwa eksistensi dan kehidupan pers di Indonesia sepanjang sejarahnya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kekuasaan. Ketergantungan pers terhadap politik mencapai puncaknya pada mass Demokrasi Terpimpin. Dengan semboyan politik adalah panglima, pers Indonesia benar-benar berada dalam posisi yang sangat lemah sehingga dengan mudah ditundukkan dan dikendalikan oleh penguasa. Bahkan citra pers sebagai corong partai politik dan idiologi praktis tidak tampak samasekali. Sebab pars hanya boleh menyuarakan pernyataan dan kepentingan pemerintah. Presiden Sukarno yang berada di puncak dan menguasai percaturan politik nasional melakukan pengawasan secara ketat terhadap pers. Demikian ketika pemerintah melancarkan aksi keluar dari PBB, sebagai salah satu slat dan kekuatan revolusioner pers harus mendukung sepenuhnya politik nasional tersebut. Tidak boleh terdengar suara sumbang di tengah arus revolusioner politik luar negeri Indonesia, harus mendapat perhatian mendalam dengan intensitas tinggi dari setiap suratkabar untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat dalam hal mendukung kebijaksanaan luar negeri Indonesia.Pandangan dan sikap pers terhadap isu-isu di balik aksi keluarnya Indonesia dari PBB juga harus mencerminkan pandangan dan sikap pemerintah, terlepas dari setuju atau tidak, sejalan atau bertentangan dengan visi dan misi politik ataupun idilogi yang dianut setiap surat kabar.