Sejarah Perumusan Kembali ke Khittah NU 1926 hingga Muktamar Situbondo 1984), SKRIPSI, Januari 2000, Jurusan Asia Barat Program Studi Arab Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) pada akhir tahun 1984 melalui mukatamarnya di Situbondo, menyatakan sikap kembali ke khittah 1926. Sebelum menjadi keputusan penting Munas Situbondo dan dipertegas kembali pada Muktamar setahun kemudian, gagasan kembali ke khittah 1926 ini sudah melalui proses perjalanan panjang, berdasarkan introspeksi dari kalangan tokoh-tokohnya sendiri, yakni dari kalangan alarm dan generasi muda NU. Karena kiprahnya sebelum itu bukan saja telah mengabaikan tugas-tugas pengabdiannya kepada masyarakat sesuai misinya mengembangkan ajaran ahlussunnah wal jarna'ah, melainkan juga telah menimbulkan ketegangan dan konflik berkepanjangan pada tingkat interen NU. Dalam perjalanan yang ironis tersebut, NU dapat pula diibaratkan seperti pisau cukur yang hanya digunakan untuk mengiris bawang rnerah, yang berarti tidak sesuai dengan peran sesungguhnya. Penelitian ini berupaya mengkaji faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya gagasan kembali ke khittah 1926 yang mencapai tahap kematangannya pada pemikiran K.H.Achmad Siddiq dan tokoh-tokoh muda pembaharu NU yang tergabung dalam Majelis 24 dan Tim Null. Dan rumusan-rumusan yang digulirkan inilah yang kemudian secara meyakinkan diterima sebagai keputusan monumental pada Munas dan Muktamar ke-27 Situbondo, yang selanjutnya diakui sebagai naakah resmi khittah NU 1926. Dari basil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan yang terlalu berlebihan kepada orientasi politik, menjadikan peran dan prestasi NU selalu dikaitkan dengan sebnah prestise jabatan atau kekuasaan yang justru pada perkembangannya menghambat kemajuan serta kejayaan NU. Sebagai upaya mengembalikan kejayaannya yang pernah dicapai pada periode awal berdirinya, langkah kembali ke Khittah 1926 merupakan langkah strategis yang diharapkan mampu membawa NU berkiprah dengan landasan dan sikap yang sesuai dengan wawasan keagamaannya. Sementara itu, keputusan kembali ke khittah 1926 sewajarnya akan membawa beberapa konsekuensi logis dan tantangan ke depan NU, baik secara organisatoris maupun politis. Secara organisatoris misalnya, NU akan mengembalikan pola. kepemimpinannya kepada supremasi ulama. Hal ini disebabkan sebagai organisasi keagamaan. (arniyyah dintyah), NU memerlukan kharisma ulama yang berperan sebagai pemandu, pengelola dan sekaligus pengawas program-program NU. Sedangkan secara politis, NU telah meninggalkan gelanggang politik praktis dan memfokuskan kegiatannya pada peran sosial kemasyarakatan yang lebih terkoordinasi. Tujuan luhur dan strategis ini akan tercapai manakala Para pemimpin NU, baik pada tataran masyarakat maupun dalam kepengurusannya tetap konsisten dan menjadikan butir-butir khittah 1926 sebagai panduan dalam berkiprah, bukannya sebagai ajang mencari kebenaran dan kepentingan pribadi semata. Upaya selanjutnya yang tak kalah penting adalah mensosialisasikan pemahaman tentang khittah NU 1926 kepada masyarakat secara umum, sebagaimana yang telah digariskan dalam keputusan NU tentang khittah 1926 beserta perangkat program dan nilai-nilai keagamaan yang mendukungnya.