ABSTRAKDi Indonesia pada umumnya kebutuhan akan terjemahan semakin terasa, terutama di masa pembangunan ini seiring pesatnya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang kita serap dari negara-negara maju. Oleh karena itulah kegiatan penerjemahan banyak dilakukan baik oleh penerjemah yang telah mapan ilmunya maupun penerjemah yang hanya mengan_dalkan pengalaman saja. Namun sayang, justru penerjemah lulusan sekolah pengalaman lebih banyak daripada pe-nerjemah yang telah menguasai teori terjemahan dengan baik. Akibatnya adalah sebagian besar hasil terjemahan merupakan hasil terjemahan interlinear. Melihat kenyataan tersebut, saya akan menunjukkan dan membuktikan melalui penulisan skripsi ini bahwa teori terjemahan amat berguna bagi penerjemah. Dengan menguasai teori terjemahan pe_nerjemah akan mendapatkan gambaran dan pegangan yang lebih pasti mengenai cara menerjemahkan yang baik. Namun, masih ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam proses terjemahan tidaklah diperlukan teori karena kegiatan menerjemahkan itu lebih merupakan kegiatan artistik dan secara intuitif. Pekerjaan menerjemahkan melibatkan bahasa sepenuhnya karena melalui bahasa, pengarang, khususnya pengarang karya sastra, menyampaikan pesan/isi karyanya melalui permainan kata. Pada umumnya permainan kata sering terdapat pada karya sastra bahkan merupakan ciri khas pengarang karya sastra berbobot sehingga penerjemah acapkali sulit mencari padanan kata yang tepat dalam memperta-hankan ciri khas tersebut. Untuk itulah menurut saya penerjemah harus memiliki penguasaan bahasa (bahasa sasar_an maupun bahasa sumber) yang baik. Hal ini dikemukakan oleh Simatupang sebagai berikut: a. penguasaan bahasa sasaran yang baik, b. penguasaan bahasa sumber yang baik c. Penguasaan materi teks yang akan diterjemahkan, dan d. pengetahuan teori terjemahan dengan baik. (Simatupang,1979: 31-32). Perlunya penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran serta penguasaan materi teks yang akan diterjemahkan dengan baik karena teks adalah rangkaian kalimat yang dibentuk berdasarkan sistim bahasa tertentu, sedangkan sistim bahasa tersebut mencerminkan kebudayaan suatu bangsa. Oleh karena itulah, kita tidak dapat begitu saja menerjemahkan suatu karya hanya dengan menukarkan kata. Menerjemahkan haruslah menerjemahkan suatu teks, dengan melihat konteksnya karena suatu teks mengandung latar budaya tersendiri. Honig, pakar teori terje-mahan, juga mengeluarkan pendapat yang menegaskan bahwa menerjemahkan adalah menerjemahkan suatu teks yang mengan_dung latar budaya. Tiap bahasa mempunyai struktur yang berbeda, terutama bahasa yang tidak serumpun. Seorang penerjemah yang telah mempelajari teori terjemahan tidak akan menerjemahkan kalimat lch habe Durst ke bahasa sasaran saya mempunyai kehausan. Namun dalam menerjemahkan bahasa yang serumpun juga sering terjadi masalah, seperti pada saat Pasta Penutupan Olimpiade Musim Dingin pada tahun 1976 di Inns_bruck. Pada papan raksasa tertera kalimat GOOD BYE IN LAKE PLACID (selamat tinggal di LAKE PLACID) yang di_terjemahkan dari kalimat AUF WIEDERSEHEN IN LAKE PLACID (sampai jumpa di LAKE PLACID) (Ibid., hlm. 9). Penerjemah kalimat Good Bye in Lake Placid hanya berorientasi pada frase Auf Wiedersehen dan tidak mengetahui dalam situasi bagaimana semestinya Good Bye digunakan. Hal ini perlu diperhatikan, sebab ada perbedaan antara bahasa Inggris dan bahasa Jerman mengenai perihal Abschied (meminta diri; berpisah). Pada sistem bahasa Inggris Abschied ditandai oleh penggunaan frase yang berbeda misalnya antara lain : See you, Good bye, Till Thursday dan We'll meet you again in. Ucapan-ucapan perpisahan ini sesuai dengan situasinya, yaitu apabila akan bertemu kembali pada suatu tempat dan waktu tertentu (See you) ataukah tidak jelas akan bertemu kembali (Good bye). Jadi, padanan yang tepat untuk kalimat Auf Wiedersehen in Lake Placid adalah We'll meet again in Lake Placid. Kalau Good bye tidak jelas apakah berjumpa kembali atau tidak. Dengan latar belakang inilah, saya akan menerapkan teori kritik terjemahan menurut Reid dalam menganalisis teks sumber dan teks sasarannya.