Keberadaan epistemologi, sebagai bagian dari filsafat sistematis, adalah untuk mengkaji pengetahuan manusia secara mendasar, menyeluruh dan umum. Dalam sejarah perkembangan filsafat, sudah banyak aliran epistemologi yang muncul. Kemunculan suatu aliran epistemologi mencoba untuk memperbaiki keberadaan teori epistemologi yang telah ada. Hal ini adalah perkara yang alamiah. Karena pada hakikatnya pengetahuan manusia itu merupakan kumpulan/akumulasi dari pengetahuan-pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Artinya pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para pendahulu akan memberi sumbangan yang berarti bagi pengetahuan manusia pada masa selanjutnya. Hal ini tidak harus selalu dipahami bahwa pengetahuan yang telah ada itu senantiasa diterima sebagai suatu kebenaraan yang sudah jadi, tetapi lebih kepada bentuk kebenaran yang masih sedang menjadi (becoming truth). Masih terdapat peluang untuk menjadikan pengetahuan yang telah ada tersebut menjadi pengetahuan yang memiliki nilai benar yang lebih baik. Usaha ini dilakukan oleh manusia sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang senantiasa ingin mengetahui sesuatu yang baru yang belum pernah mereka ketahui. Hal ini akan senantiasa terjadi dalam sejarah peradaban manusia, dalam bidang apapun. Immanuel Kant adalah seorang filosof zaman modem yang mencoba mengkritisi pemikiran yang sedang berkembang pada masanya. Rasionalisme adalah aliran filsafat (terutama epistemology) yang sedang berada di puncak kejayaan pada masa itu yang banyak diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Jarman. Sementara diseberang lautan (di Inggris), empirisme juga sedang mengalami hal yang sama. Mereka masing-masing mengklaim sebagai pihak yang paling benar dalam hal epistemologi. Namun demikian Immanuel Kant tidak mengikatkan diri kepada salah satu aliran tersebut. Kant mengambil jarak dengan keduanya. Ia memutuskan untuk mengkaji batas-batas kemampuan rasio manusia untuk mampu mengetahui. Ia menamakan hal ini dengan filsafat kritis (critical philosophy), Itulah salah satu yang menyebabkan ia berbeda dengan filosof yang lain. Immanuel Kant menyatakan bahwa rasio manusia hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat gejala (fenomena) saja. Rasio manusia hanya mampu memahami sesuatu yang berada dalam jangkauan ruang dan waktu. Sementara sesuatu yang berada di luar jangkauan ruang dan waktu, rasio manusia tidak mampu menangkapnya. Namun demikian, rasa pesimisme yang dimiliki oleh Immanuel Kant terhadap potensi rasio ini tidak berarti bahwa rasio itu tidak penting. Rasio memiliki tempat yang sangat panting dalam filsafat Kant. Rasio merupakan sarana yang dengannya manusia mampu menemukan dirinya sebagai manusia yang merdeka, manusia yang terbebaskan, dan manusia yang tercerahkan. Dengan rasiolah manusia mampu berpikir. Dengan rasiolah manusia mampu memberi atribut terhadap sesuatu yang datang kepadanya. Dengan rasiolah manusia mampu keluar dari belenggu_-belenggu yang ada di dalam dirinya. Penggunaan rasio di wilayah yang memungkinkan kita untuk tidak tersubordinasi oleh pihak lain,oleh Kant dinamakan penggunaan rasio secara publik (public use); sementara penggunaan rasio pada saat kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, oleh Kant disebut penggunaan rasio secara prifat (private use). Pada tataran kita tersubordinasi oleh sebuah sistem, Kant tidak menyarankan kepada kita untuk menurut begitu saja terhadap pemikiran yang dimunculkan oleh sistem tersebut, tetapi kita wajib untuk menyesuaikannya dengan fungsi rasio secara publik. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tataran praksis, fungsi rasio mengalami penyimpangan. Rasio dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk merasionalkan sesuatu yang sebenamya tidak rasional. Rasio yang semula sebagai pemandu manusia untuk keluar dari keterkungkungan terhadap hal-hal yang tidak rasional, kini ia telah menjadi belenggu Baru bagi manusia. Manusia telah memitoskan rasio. Suatu keadaan yang paradoksal. Pada tataran praksis yang lain dimana kemajuan ilmu pengetahuan demikian pesat, berdampak terhadap sikap manusia dalam mengambil keputusan. Manusia, ada kalanya, dalam mengambil keputusan tidak lagi berdasarkan kepada putusan-putusan rasionalnya , tetapi lebih tergiur kepada citra yang disajikan dan dimunculkan oleh media. Hal ini bermakna bahwa manusia yang hidup pada masa pencerahan tidak dengan sendirinya memiliki pikiran yang tercerahkan, kalau rasio sebagai parameter tercerahkan atau tidak tercerahkannya manusia.