Perbincangan mengenai seni dan realitas seakan tidak pernah ada habisnya. Hubungan ini kian erat saat realisme mendominasi warna seni sekitar tahun I900an. Pengaruh aliran ini nyata terlihat di dalam teater sebagai salah satu seni pertunjukan yang menggunakan realitas sebagai modelnya. Namun, obsesi kaum realis ini terhalang oleh keberadaan panggung yang terpisah dengan kursi penonton. Dengan kata lain, teater tidak bisa merepresentasikan secara sempurna realitas sesungguhnya. Hal ini mendapat perhatian khusus dari seorang dramawan Jarman yang bernama Bertolt Brecht (1898-1956) yang mengajukan tantangan terhadap teater realis. Brecht berpendapat bahwa realitas yang dimengerti oleh teater realis hanyalah semu dan ilusif. Realism Brecht adalah realitas yang melibatkan semua bidang kehidupan masyarakat yaitu sosial, politik, hingga budaya. Realitas sosial politik yang dinamis merupakan realitas yang ditampilkan di atas panggung bukan semata-mata berkutat pada penampilan yang harus identik dengan kenyataan. Realitas yang didefinisikan oleh Brecht mendapatkan pengaruh dari Marxisme yang berbicara pertentangan antarkelas antara sosialisme dan kapitalisme. Namun, titik berat Brecht tidak pada pertentangan tersebut melainkan pada masyarakat pada masa tersebut. Sedari awal, Brecht menegaskan tujuan teater untuk menghibur masyarakat. Namun, hanya bentuk hiburan yang tepatlah yang dianggap bisa merefleksikan kondisi sosial saat itu. Bagi Brecht, masyarakat yang sedang berkembang adalah masyarakat yang ilmiah. Dengan kata lain, Brecht berupaya memadukan metode ilmiah ke dalam teater, misalnya menggunakan pendekatan sosiologis, historis hingga psikologis. Brecht kemudian memperkenalkan sebuah istilah baru yaitu Alienation Effect (Velfremdungseffekte) yang berdampak besar bagi perkembangan teater itu sendiri. Efek alienasi sebenarnya terinspirasi dari akting seorang aktor besar Cina yaitu Mci Lan-fang. Pemakaian kostum dan topeng-topeng serta gesture-gesture yang ditampilkan merupakan upaya Brecht untuk menghindarkan para pemain dan penonton terlibat secara emosional. Brecht menginginkan para penonton dapat menanggapi dengan penuh kesadaran dan rasionalitas bukan sekadar empati belaka. Efek alienasi juga dimaksudkan untuk meruntuhkan the fourth wall sebagai upaya untuk menjalin interaksi yang alami antara penonton dan pemain. Bertolt Brecht menjawab dengan pasti bahwa realitas sosial politik tidak bisa ditampilkan secara sempurna di alas panggung. Sejak awal, hubungan realitas dan teater telah mempunyai jarak. Brecht memperkenalkan efek alienasi sebagai penegas jarak antara keduanya. Namun, efek ini berhenti bekerja saat Brecht lebih berkonsentrasi mempromosikan misi penyadaran bagi masyarakat, terutama untuk mengubah kondisi social masyarakat. Jarak antara realitas dan teater yang telah dibangun Brecht melalui efek alienasi menjadi kabur kembali akibat tindakan praktis atas kondisi sosial politik saat itu. Brecht tidak bisa mempertahankan argumen karena obsesi pribadi yang mengharapkan lahirnya perubahan radikal dilakukan oleh para penonton teaternya. Brecht tidak bisa melepaskan diri dari kepungan realitas sosial politik yang terjadi saat itu, terutama pada masa pemerintahan Hitler. Melalui Teater Epik, Brecht menuai banyak kontroversi mengenai status atau keberpihakannya terhadap partai sosialis. Tidak dapat dipungkiri bahwa Brecht menggunakan teori sosial Marx bagi perkembangan teatemya, namun keterlibatannya secara langsung dengan partai politik tidak terbukti. Teater Brecht adalah teater politis karena mempunyai misi untuk mengungkapkan realitas sosial politik yang sedang terjadi, namun proses ini dikemas dalam bentuk hiburan bagi masyarakat. Keinginan Brecht untuk menyandingkan niatan politis dengan unsur estetis inilah yang justru membuatnya tidak bisa dimasukkan dalam kelompok manapun. Terjerumusnya Brecht dalam perputaran politik praktis merupakan konsekuensi dari teorinya sendiri. Namun, argumen awal Brecht tetap menyatakan teater untuk hiburan. Melalui penulisan ini, analisa kritis terhadap teater untuk hiburan milik Brecht tidak hanya berkutat pada kondisi politik semata melainkan kembali menyelidiki dimensi estetis yang coba diajukan oleh Brecht sendiri. Teater untuk Hiburan menjadi tesis Brecht untuk kembali mempertahankan jarak antara teater dan realitas. Tesis ini mendapatkan perhatian bagi para pemikir, praktisi, hingga para pemain teater untuk menampilkan pertunjukan yang menghibur namun tetap memiliki kepekaan terhadap realitas sosial yang sedang dihadapi.