Ada apa dengan manusia? Dunia yang telah dihuni sekian lama oleh manusia tidak juga membuat hidup dalam keadaan lebih damai, lebih sejahtera, lebih adil, dan lebih merata. Perang yang selalu berkecamuk, kemiskinan yang terus mendera kehidupan manusia, diskriminasi dan eksploitasi yang semakin melebar dalam seantero lapisan masyarakat. Sejak beberapa abad lalu jutaan manusia berusaha menjawab persoalan-persoalan ini dengan berbagai sistem dan metode. Berbagai paham di muka bumi muncul dan memberikan perhatian lebih kepada cara manusia seharusnya menjalani kehidupannya. John Dewey adalah seorang filsuf pragmatis Amerika sekaligus seorang ahli pendidikan progresif, yang berusaha menguraikan benang kusut persoalan manusia ini dengan mengidentifikasi berbagai aspek yang membelenggu kemajuan manusia. Kencangnya arus paradigma Cartesian-Newtonian dalam ranah filsafat dan ilmu pengetahuan, yang menimbulkan gelombang moderenisasi dan industrialisasi, dan membelenggu manusia dalam semua dimensi kehidupan, menjadi awal kritiknya. Paradigma tersebut terus melebar dan merasuk dalam sendi-sendi pendidikan sebagai sarana pengembangan manusia dengan timbulnya paham perennialisme dan esensialisme. Paradigma ini berusaha meletakkan manusia dan dunia dalam kerangka either-or (pilihan di antara dua ekstrim, dan tidak mengakui kemungkinan di antara keduanya), sebuah prinsip pengetahuan yang membuat manusia melihat dunia ke dalam dua corak: hitam-putih; salah-benar; teori-praktik; individu-sosial; manusia_-dunia; sarana-tujuan, dan lain sebagainya. Bagi Dewey manusia harus dilihat sebagai mahluk mutidimensi, yang tidak terpisahkan dari berbagai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Prinsip interaksi individu-sosial inilah yang menurutnya kemudian dapat membawa manusia menuju kemajuan yang hakiki. Proses pengembangan manusia dalam ranah pendidikan harus diarahkan kepada dua entitas ini sebagai mahluk dunia yang integral. Pendidikan harus diawali dari pengembangan manusia sebagai individu dan kemudian mengarahkannya pada aspek sosial melalui rekonstruksi, reorganisasi, dan reformasi. Hingga akhirnya individu-individu manusia yang handal dan memiliki sensibilitas perasaan atau empati sosial yang tinggi dapat mengembangkan dan membentuk masyarakat yang adil, sejahtera dan merata, inilah cita-cita kemajuan yang sebenarnya. Pada akhirnya, diharapkan terciptanya kemajuan dunia, melalui pengembangan individu secara komprehensif dan progresif. Manusia tidak lagi bersifat individualistik, egois, dan tidak memiliki sense of social crisis. Individu kemudian menjadi dewasa (maturity) yang terpancar melalui kematangan sikap, prilaku etis, demokratis, dan sensitif dengan kondisi lingkungan dan sosialnya.