Adaptasi adalah sebuah dilema kontemporer dimana sebuah karya adaptasi seringkali dinilai berdasarkan kesetiaan maupun ketidak setiaannya terhadap karya sumber. Novel A Clockwork Orange yang ditulis oleh Anthony Burgess pada tahun 1962 diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Stanley Kubrick pada tahun 1971. Setelah dilayarputihkan, A Clockwork Orange menuai banyak kontroversi seputar permasalahan kekerasan karena banyak kasus kriminal yang kemudian mengikuti A Clockwork Orange baik di Amerika dan Inggris. Hal ini merupakan efek kultural yang diakibatkan oleh sebuah proses adaptasi. Perbedaan konvensi sastra (novel) dan film yang berbeda menghasilkan makna tematis dan ideologi yang berbeda.
Fenomena ini menarik penulis untuk meneliti lebih lanjut tentang esensi kekerasan secara tematis dan ideologis yang terdapat dalam baik novel dan film A Clockwork Orange. Karena alasan inilah penulis memilih tema kekerasan (yang dalam A Clockwork Orange disebut dengan "ultra-violence") dalam film dan novel A Clockwork Orange sebagai corpus penelitian, dan menggunakan teori adaptasi George Bluestone dari buku Novels into Film (1957) dan pendekatan obyektif (New Criticism) dari Kenneth Burke. Dalam buku Novels into Film (1957).
Dikemukakan bahwa perbedaan medium novel dan film pasti menghasilkan perbedaan pemaknaan. Namun perbedaan pemaknaan tersebut bukan hanya dari mutasi narasi novel ketika diadaptasi ke film, tetapi juga dari pemaknaan visual.
Penulis melakukan penelitian ini dengan membandingkan novel dan film secara tematis, dan kemudian melihat pesan ideologis novel dan film yang muncul dari perbedaan tematis tersebut. Novel A Clockwork Orange secara tematis menunjukkan bahwa kekerasan merupakan sebuah bagian dari fase proses pendewasaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisa tiga hal dalam novel.
Pertama, penokohan karakter utama Alex yang menunjukkan bahwa Alex adalah seorang remaja pemberontak.
Kedua, setting pada novel yang menunjukkan keadaan distopia sebagai latar belakang pendukung kekerasan yang dilakukan Alex.
Dan ketiga, plot novel yang memiliki struktur yang dapat diinterpretasi sebagai simbol pendewasaan seseorang.
Analisis tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa kekerasan dalam novel A Clockwork Orange dilihat sebagai sebuah bagian fase pendewasaan seorang remaja pemberontak seperti Alex. Hal tersebut menunjukkan posisi ideologis novel bahwa kekerasan dikritisi sebagai suatu hal yang satir; dimana kekerasan merupakan bagian dari kehidupan manusia yang dapat merugikan banyak orang namun keberadaannya tidak dapat hilang dari kehidupan manusia. Film A Clockwork Orange menginterpretasikan novelnya secara visual dengan gaya sutradara Stanley Kubrick. A Clockwork Orange kemudian mengalami stilisasi atau _gaya_ sesuai dengan interpretasi visual Kubrick. Kubrick memilih A Clockwork Orange versi terbitan Amerika Serikat dimana versi tersebut tidak menyertakan bab terakhir dalam novel. Ini mengakibatkan pergeseran makna tematis dan posisi ideologis. Hal ini dapat dilihat dengan menganalisis penokohan Alex, setting, plot dan musik dalam film yang membentuk pemaknaan baru secara visual.
Film A Clockwork Orange menunjukkan bahwa kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia yang dirayakan. Secara tematis, kekerasan tidak lagi dilihat sebagai bagian dari proses pendewasaan, namun bagian dari kebebasan manusia. Adanya terjemahan visual ke dalam film dari apa yang ditulis dalam novel memberikan pemaknaan yang berbeda, yaitu kekerasan sebagai bagian dari kehendak bebas tersebut. Hal ini kemudian menunjukkan posisi ideologis film yang berbeda dengan novel, yaitu sebagai sebuah perayaan terhadap kebebasan.
Kesimpulan akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa novel dan film A Clockwork Orange memiliki pemahaman tematis dan posisi ideologis yang berbeda. Dalam novel, kekerasan dilihat sebagai bagian pendewasaan dan memiliki posisi ideologis dimana kekerasan dilihat sebagai sebuah satir kehidupan. Sementara dalam film, secara tematis kekerasan dilihat sebagai bagian dari kehendak bebas manusia, dan secara ideologis memperlihatkan bahwa kehendak bebas manusia merupakan suatu hal yang keberadaannya dirayakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses adaptasi, novel dan film berhubungan sebagai karya sumber dan interpretasinya, namun secara tematis dan ideologis, novel dan film merupakan karya yang dapat berdiri secara otonom dan dapat berdiri dengan pemaknaannya masing-masing.