Prasasti adalah salah satu peninggalan yang merupakan sumber penting bagi penulisan sejarah kuno Indonesia, berupa putusan resmi yang tertulis di atas batu atau logam yang dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah tertentu, berisi anugerah dan hak yang dikaruniakan dengan berbagai upacara. Dari prasasti dapat diperoleh informasi tentang struktur kerajaan, struktur birokrasi, perekonomian, agama, sistem sosial kemasyarakatan dan adat istiadat masyarakat Indonesia Kuna (Boechari, 1977b:22). Bagian yang cukup penting dalam prasasti adalah penanggalan. Penentuan penanggalan harus dilakukan oleh seorang ahli astrologi istana atau wariga, dengan mengikuti ilmu dan ajaran-ajaran Hindu seperti yang terdapat dalam kitab-kitab Bh_skar_c_rya atau S_ryasiddh_nta (Bakker, 1972: 16). Tanggal, selain mempunyai arti sebagai penunjuk waktu juga mempunyai arti magis, yaitu suatu kekuatan tertentu yang dimiliki tanggal-tanggal itu dan biasanya dihubungkan dengan pengaruh baik atau buruk hari jika kemudian hari itu akan digunakan untuk suatu kegiatan. Kebiasaan itu ternyata masih digunakan hingga masa modern ini, seperti juga kitab S_ryasiddh_nta yang hidup terus dalam primbon-primbon Palintangan dan Pawukon. Hingga masa kini masyarakat Jawa masih memakai kitab-kitab primbon untuk mencari _hari baik_ guna melakukan suatu kegiatan, agar kegiatan itu bisa berjalan dengan lancar dan tanpa gangguan. Perhitungan _hari baik_ itu dilakukan karena raja sebagai pemberi keputusan bukan orang sembarangan, raja adalah penjelmaan Dewa di dunia (Sumadio, 1993: 191). Penelitian ini melihat apakah masyarakat Jawa kuno sudah mengenal konsep _hari baik_ itu dan melihat alasan-alasan pemilihan tanggal-tanggal yang tercantum dalam prasasti-prasasti Jawa kuno abad ke-9 & ke-10 M. Untuk melihat hal itu digunakan penghitungan pada unsur-unsur penanggalan yang ada pada pasasti. Ternyata setelah dihitung nilai harinya didapatkan prasasti-prasasti Jawa kuno abad ke-9 dan ke-10 M, banyak yang mempunyai nilai hari buruk. Hal ini menimbulkan kecurigaan apakah masyarakat Jawa kuno belum mengerti mengenai nilai-nilai hari atau cara penghitungan yang digunakan berbeda dengan yang digunakan sekarang dan sudah hilang