Karena sumbangan industri kayu lapis yang cukup besar pada penerimaan devisa ekspor non-migas, guncangan yang dihadapi industri ini akan cukup mempengaruhi kestabilan penerimaan devisa Indonesia. Dengan adanya kampanye penggunaan ekolabel atas produk kayu, Indonesia perlu bersikap pro-aktif untuk menjaga agar penerimaan devisanya tidak terganggu akibat isu ini, dan pada saat yang bersamaan juga perlu menjaga kelestarian hutan tropisnya yang amat berharga itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan penerapan ekolabel untuk industri kayu lapis Indonesia. Secara lebih spesifik adalah untuk membuktikan bahwa karakteristik pasar kayu lapis Indonesia sebenarnya memberikan celah untuk usaha ekolabel, dan bahwa eko-label tidak berpengaruh negatif terhadap penerimaan dari kayu lapis. Metodologi yang digunakan adalah metode analisis data secara kualitatif, dan analisis pasar di 8 negara tujuan ekspor Indonesia secara kualitatif, dengan memanfaatkan metode pangkatdua terkecil dua tahap dan data pooling. Negara yang dijadikan obyek penelitian terdiri dari negara yang sensitif terhadap isu lingkungan dan yang tidak. Penulis mengaplikasikan dua skenario, yaitu skenario pemasaran tanpa ekolabel dan skenario pemasaran dengan ekolabel. Hasil penelitian menunjukkan elastisitas permintaan terhadap harga untuk keseluruhan 8 negara tujuan ekspor pada saat ekolabel belum dilaksanakan bersifat inelastik. Sementara elastisitas permintaan terhadap harga ketika ekolabel telah dilaksanakan, dan pada saat diferensiasi pasar diaplikasikan secara tegas, bersifat enelastik baik pada pasar yang sensitif terhadap isu lingkungan dan yang tidak. Pada skenario setelah pelaksanaan ekolabel, elastisitas permintaan terhadap pendapatan bersifat inelastik pada pasar yang sensitif, dan bersifat elastik pada pasar yang tidak sensitif. Pada periode penelitian, ternyata terjadi pergeseran konsentrasi pasar tujuan ekspor, dari pasar-pasar yang sensitif-yaitu Eropa dan Amerika Serikat - ke pasar-pasar yang tidak sensitif yaitu Jepang dan Korea. Hal ini terjadi ketika harga yang diterima dari pasar yang sensitif jauh lebih baik dari harga yang diterima dari pasar yang tidak sensitif. Anomali ini diduga terjadi karena sistem tata niaga kayu lapis. Inti dari usaha ekolabel adalah pembeberan mutu produk dan transparan informasi agar konsumen dapat memutuskan pembelian dengan informasi selengkap mungkin. Tujuan ekolabel tidak akan tercapai jika niaga kayu lapis masih tetap dilaksanakan.