Krisis yang berkepanjangan sejak akhir tahun 1997, dan situasi politik yang tidak menentu, membuat bisnis ritel Indonesia menghadapi masa yang sulit. Sejalan dengan krisis ekonomi, krisis perbankan juga terus berlangsung, menyebabkan kurang tersedianya dana untuk modal kerja. Ini menimbulkan hambatan dalam kegiatan operasional. Semua itu berlangsung pada saat meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Pada akhir 1996, jumlah penduduk di bawah ambang kemiskinan tercatat 22,5 juta jiwa dan meningkat menjadi 52,5 juta jiwa pada pertengahan 1998. Menjelang akhir 1999, jumlah penduduk miskin ini sudah diatas 80 juta jiwa. Kondisi ini diikuti oleh menurunnya pendapatan perkapita hingga di bawah 430 dollar US pertahun. Akibat langsung dari menurunnya pendapatan perkapitaini adalah menurunnya daya beli. Ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan pasar modern sebab hipotesa US $ 1000 treshold menunjukkan bahwa pasar modern akan tumbuh baik pada daerah yang memunyai pendapatan perkapita US $ 1000 per tahun. Keadaan seperti ini mengakibatkan sebagian pengusaha ritel menganggap Indonesia bukan tempat yang baik untuk investasi, paling tidak sementara waktu. Hal ini pula yang menyebabkan terjadinya arus keluar masuk bisnis eceran asing. Meskipun demikian, tetap saja peritel asing masuk ke Indonesia. Mereka melihat sejarah bahwa negara yang habis mengalami krisis pada saat tertentu akan segera bangkit kembali. Mereka melihat konjungtur yang mengarah ke perbaikan ekonomi, sehingga mereka langsung masuk. Ditambah lagi kemudahan-kemudahan yang diberikan pemerintah terhadap investor asing, melalui peraturan pemerintah yang memberikan kesamaan perizinan, seperti halnya pengusaha lokal, kepada pengusaha asing. Peritel asing, seperti Carrefour, memanfaatkan momen dimana pada saat daya beli masyarakat Indonesia menurun, mereka masuk dengan menawarkan harga yang jauh lebih murah dengan kualitas dan kenyamanan yang jauh lebih baik. Ditambah lagi budaya masyarakat Indonesia yang lebih menyukai barangbarang baru, apalagi yang berbau luar negeri. Sehingga nama-nama asing seperti Carrefour langsung diserbu oleh kalangan kelas menengah. Ini sesuai dengan sasaran atau target market dari Carrefour yaitu kelompok masyarakat menengah keatas. Persaingan di pasar modern pun sangat ketat. Semua perusahaan pasar modern melakukan kegiatan pemasaran dengan konsep dan strategi masing-masing dalam rangka mengembangkan daya saing yang berdasarkan pada keunggulan kompetitif. Berbagai konsep pasar modern telah ditawarkan dengan berbagai janji pelayanan. Promosi dilakukan hampir oleh semua pasar modern di Indonesia, mulai dari institusional advertising, product advertising, promotional advertising, personal selling, services hingga penggunaan credit card dan ATM untuk alat pembayaran. Pengusaha ritel lokal berpendapat bahwa masuknya retailer asing berpengaruh negatif pada perkembangan retailer lokal. Pendapat ini memang belum bisa dibuktikan kebenaranya, hanya saja hal ini perlu disikapi secara matang oleh pemerintah Indonesia. Jangan sampai masuknya peritel asing justru berdampak negatif Diharapkan masuknya mereka justru membawa suasana bare pada persaingan bisnis ritel tanah air dan menjadi motivator bagi pengusaha-pengusaha ritel lokal.