Lontar asal Bali ini diawali dengan uraian pertemuan Prabu Wirya Jenggala Amlapura dengan para bujanggawan, Tri Wangsa (Brahmana, Ksatria, Wesya), Sudra, serta rakyat bawahannya dalam usahanya untuk menciptakan keselamatan, kebahagiaan, dan ketenangan dunia beserta isinomya (swastaning bhuwana). Diungkapkan juga tentang catur warna dengan segala aturan, tingkatan, kedudukan dan fungsinomya dalam masyarakat, hubungan sesamanya, serta tata kramanya masing-masing sehubungan dengan upacara Panca Yadnya terutama dalam upacara Pitra Yadnya. Teks dilanjutkan dengan kesepakatan, kemanunggalan, atau kesamaan jalan pikiran sang Prabu (Anak Agung) sebagai pengayom maskumambangyarakat dengan Brahmana Sulinggih (pendeta) sebagai penasehat atau penyebar ajaran Agama serta pengatur (purohita) segala jenis bentuk adat dan upacara keagamaan. Fungsi seorang Brahmana Sulinggih terhadap para golongan sudra dalam hal pemberian Tirta Suci (Tirta Pangentas) sangat penting terutama pada saat golongan sudra mengalami duka (kematian) atau dalam upacara Pitra Yadnya. Dalam naskah ini terdapat juga cerita tentang dipotongnya ibu jari sang Eka Lawya oleh Danghyang Drona sehingga tidak dapat menandingi kepandaian sang Arjuna dan terbunuhnya Detya anak sang Wipracinti oleh Dewa Wisnu yang berubah wujud seperti Dewa serta bersama-sama minum merta (air penghidupan). Naskah diakhiri dengan uraian Anak Agung dengan Brahmana Sulinggih, untuk menetapkan Surat Panglocita Pusaka yang telah dibentuk atau selesai pada Purnama Kasa (bulan pertama Bali) tahun 1808 Saka (h.7a). Surat Panglocita Pusaka ini semacam tulisan yang berbentuk piagam, berisi awig-awig atau aturan-aturan kemasyarakatan. Informasi penulisan teks tidak ditemukan secara jelas. Menurut data yang termuat pada h.7a, naskah disalin (atau diprakarsai ?) oleh Anak Agung (Prabhu) dan Brahmana Sulinggih (Pendeta) pada tahun 1808 Saka (1886) di Amlapura (Karangasem), Bali.