Naskah asal Lombok ini berisi teks Bhismaparwa, yakni bagian keenam dari Astadasaparwa yang menguraikan gugumya Bhisma dalam perang Bratayuda. Diawali dengan kehadiran Resi Byasa di tengah kebingungan Drestarastra dan melalui Sanjaya dilimpahkan kesaktian agar dapat melihat segala sesuatu yang terjadi di medan pertempuran. Kemudian pelukisan tentang kelemahan Arjuna dalam berperang karena menghadapi saudara-saudara sepupunya, bekas gurunya, serta orang-orang yang dikenalnya di pihak lawan. Arjuna sangat terharu dan bingung sehingga hampir mengundurkan diri dari kancah peperangan. Ia lebih suka meletakkan senjatanya dan membiarkan diri dibunuh tanpa perlawanan. Di tengah-tengah kebingungan seperti itu, Kresna menerangkan bahwa sikap itu tidak pantas bagi seorang kesatria. Seorang kesatria, sudah seyogyanya menunaikan tugas suci (Dharma), artinya bertempur. Berkat ajaran dan pengetahuan murni yang dipaparkan Kresna, akhirnya Arjuna pun bangkit semangatnya untuk mengangkat senjata dan menerjunkan diri ke dalam pertempuran. Sebelum pertempuran dimulai Yudistira serta putra Pandu lainnya berjalan menuju barisan Korawa untuk menghaturkan hormat, mohon maaf kepada guru-gurunya serta meminta anugrah berupa keterangan untuk mengalahkan mereka (guru-gurunya). Bhisma mengatakan bahwa ia tak akan melawan jika diserang oleh musuh yang pernah menjadi wanita (Srikandi). Drona mengungkapkan bahwa ia akan dapat dikalahkan jika meletakkan senjata setelah mendengar berita buruk. Krepa mengatakan bahwa Pendawa akan menang. Salya menjanjikan akan melemahkan kekuatan Karna yang sulit dibujuk untuk memihak Pendawa. Pada hari ketiga, Uttara dan Sweta (anak raja Dropada) yang diangkat sebagai senopati perang pertama di pihak Pendawa tewas di tangan Salya dan Bhisma. Bhisma yang berkedudukan sebagai senopati perang pertama di pihak Korawa semakin memperlihatkan kedahsyatannya yang sangat mengagumkan, sehingga Kresna hampir tak sabar lagi untuk campur tangan dan ingin membunuhnya dengan Cakra Sudarsananya, namun ditahan oleh Arjuna. Pada hari kesepuluh, Bhisma gugur terkena anak panah Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi yang sedang menyerang. Badannya tidak jatuh ke tanah, melainkan terbaring di atas semacam ranjang anak panah yang tertancap di seluruh tubuhnya. Berkat kesaktiannya, Bhisma dapat menunda kematiannya sampai matahari berada di belahan bumi utara. Akhirnya pihak Pendawa dan Korawa berkerumun mau meringankan dahaganya. Semua usaha itu ditolak Bhisma kecuali yang datang dari cucunya yang terkasih yakni Arjuna. Maka Arjuna menancapkan anah panah ke tanah dan muncratlah mata air bersih, lalu mempersembahkannya. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Bhisma sempat berpesan bahwa di seluruh dunia tidak ada seorang pun yang bisa menangani senjata surgawi kecuali Arjuna dan Kresna yang sesungguhnya adalah tunggal. Duryadana dinasehati agar satu sepakat derigan Pendawa. Yudistira diberi penjelasan tentang kewajibannya menjadi seorang raja. Setelah mendengar penjelasan, keterangan dan nasehat tersebut akhirnya pihak Pendawa dan Korawa kembali ke tempatnya masing-masing. Naskah ini disalin oleh I Gusti Wayahan Sidemen, di Pagutan Lombok pada hari Kamis Wage Prangbakat, pananggal ke-15, sasih Kasa tahun 1820 Saka (1898 Masehi). Naskah ini adalah milik I Gusti Putu Griya, yang bertempat di puri Wukir Kawi, Cakranagara Lombok (h.95b), kemudian dibeli (?) pada tahun 1900 dan menjadi milik I Gusti Putu Jlantik di Singaraja Bali. Tentang Bhismaparwa pada umumnya, lihat Gonda 1935, 1936b, 1937; Zoetmulder 1983: 90-92 dan Poerbatjaraka 1954: 10.