Lontar Bali ini berisi teks Dharma Pawayangan, menguraikan kewajiban- kewajiban seorang dalang atau yang berkecimpung dalam dunia pedalangan. Disebutkan bahwa seorang dalang hendaknya memahami perwatakan dari semua tokoh wayang, mampu memasukkan ke dalam jasmaninya (bhuwana alii) serta memerankannya lewat kata-kata dan gerak. Ada tiga kasuksman (ajaran) yang dipegang atau disembah seorang dalang, yakni menyembah sang Hyang Guru Reka yang ditempatkan di dalam pikiran, sang Hyang Saraswati (di lidah), dan sang Hyang Kawi Swara di dalam kata-kata (wakya), yang dilatarbelakangi segala tatwa atau tutur. Selain itu, seorang dalang hendaknya memahami aturan-aturan, sesajen serta mantra-mantra yang harus dilakukan sewaktu mengambil wayang, sekaligus memerankan, sampai memasukkannya ke dalam sebuah kropak. Pangeger (daya tarik) bagi seorang dalang mutlak diperlukan dalam dunia pewayangan, karena akan dapat memikat hati penonton dalam menyaksikan pergelaran wayang. Disebutkan juga tentang woton atau piodalan (ulang tahun) wayang yang bertepatan pada hari Sabtu Kliwon wuku Wayang, yang dinamakan Tumpek Wayang. Dilengkapi dengan sarana, tatacara pelaksanaannya dan mantra-mantra sehubungan dengan piodalan tersebut. Banyak lagi disebutkan kewajiban bagi seseorang yang mendalang. Pada h.7a disebutkan bahwa naskah ditulis oleh Ida Agung Gde Rai, asal Puri Anyar di Banjar Tingas, Desa Tingas, Prabekel MambalabakKecamatan Abian Semal, Kabupaten Badung, pada hari Senin Pon Warigadyan tahun 1894 Saka (1972).