Dalam kegiatan pinjam meminjam (pemberian kredit), jaminan merupakan faktor yang sangat penting bagi Kreditur untuk mendapatkan kepastian dilunasinya hutang oleh Debitur. Jaminan yang umumnya dikehendaki dalam praktek adalah yang berbentuk jaminan kebendaan berupa tanah berdasarkan pertimbangan nilai benda jaminan. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), tanah dan benda-benda yang berkaitan atas tanah dijaminkan dengan suatu lembaga jaminan Hipotik. Dalam praktek Hipotik saat itu, jarang sekali para pihak menempuh pembebanan Hipotik secara langsung, yang hampir selalu terjadi adalah melalui kuasa memasang Hipotik. Namun, pada dasarnya Surat Kuasa Memasang Hipotik hanya merupakan sarana ke arah pembebanan Hipotik. Kreditur baru akan memasang Hipotik apabila ada indikasi Debitur akan cidera janji. Hal itu dilakukan dengan pertimbangan bahwa melalui kuasa memasang Hipotik, Kreditur dapat sewaktu-waktu memasang Hipotik pertama, kedua, dan seterusnya. Selain itu pula, proses penandatanganan Akta Hipotik sampai dengan keluarnya sertipikat Hipotik memerlukan waktu yang lama serta biaya yang mahal. Sesuai dengan Pasal 1168 KUH Perdata, pembebanan Hipotik hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkuasa memindahtangankan benda yang dibebani Hipotik, dan menurut Pasal 1171 KUH Perdata hanya dapat dilakukan dengan suatu akta otentik (akta Notaris). Agar dapat dijadikan sebagai alas hukum yang sah, terhadap pembebanan Hipotik harus dilakukan pendaftaran pada Badan Pertanahan untuk dibuatkan aktanya, dan kemudian dibuatkan sertipikatnya. Sertipikat inilah yang kemudian menurut hukum dapat digolongkan sebagai suatu lembaga jaminan yang dapat dieksekusi secara serta merta untuk memperoleh pelunasan hutang Debitur. Tanpa dilakukannya pendaftaran, Hipotik/Hak Tanggungan tidak memiliki kekuatan hukum apapun baik terhadap Kreditur ataupun pihak ketiga.