Seseorang itu mempunyai kebebasan dalam menentukan peruntukan harta kekayaannya kelak setelah ia meninggal dunia. Untuk mewujudkan maksud tersebut pemlik harta bisa membuat wasiat. Dalam membuat wasiat terdapat pembatasan baik menurut Hukum Islam maupun dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. menurut Hukum Islam, wasiat itu tidak boleh lebih dari 1/3 bagian harta peninggalan, sedangkan menurut KUH Perdata wasiat itu tidak boleh melanggar legitiems portie para legitimaris. Disamping itu menurut Hukum Islam, wasiat dilaksanakan sebelum harta peninggalan dibagikan kepada para ahli waris. Menurut KUH Perdata penerima wasiat mempunyai kedudukan sebagai ahli waris, dengan demikian penerima wasiat mengikuti ketentuan seperti ahli waris lainnya (ahli waris menurut undang-undang) dalam masalah yang berkaitan dengan harta peninggalan. Dalam kaitannya dengan masalah wasiat ini, penulis meninjau pelaksanaan wasiat menurut Hukum Islam dalam praktek di Pengadilan Agama, sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan masalah wasiat khususnya dan kewarisan pada umumnya yang diajukan kepada instansi ini. Pengadilan Agama menjadikan al-Qur'an sebagai sumber hukum dan juga pedoman dalam memberikan fatwa perkara wasiat khususnya dan kewarisan pada umumnya disamping dua sumber Hukum Islam yang lain yakni Sunnah Ras'sul dan Ijtihad. Persoalan yang dihadapi ialah belum adanya kodifikasi Hukum Kewarisan dan kewenangan secara yuridis formal Pengadilan Agama dalam menyelesaikan masalah-masalah kewarisan.