ABSTRAKHak tagihan yang berupa piutang-piutang atas nama (vorderings op naam) dapat dijadikan jaminan utang, pada Bank, dalam bentuk gadai piutang ataupun dalam bentuk cessie. Menurut hukum benda kedua bentuk jaminan itu termasuk sebagai jaminan khusus atas benda bergerak yang tidak berwujud, yang pengaturannya terdapat dalam Buku II KUH Perdata. Mengingat bahwa gadai piutang (atas nama)
dan cessie, sudah diatur dalam kurun waktu yang cukup lama -sejak berlakunya BW- sementara itu lembaga perbankan telah mengalami perkembangan yang demikian pesatnya, maka hal inilah membuat penulis menjadi tertarik untuk
mengetahuinya lebih lanjut. Metode penelitian yang dipergunakan ialah penelitian kepustakaan dengan melakukan penelusuran literatur, dan penelitian lapangan, dalam hal ini penulis mengadakan penelitian pada beberapa bank di Jakarta. Dari hasil penelitian tersebut ternyata dalam gadai piutang atas nama, jika pemberi gadai melakukan wanprestasi untuk membayar utangnya, bank tidak melaksanapenjualan di muka umum sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 1155 KUH Perdata, melainkan bank menagih langsung kepada pihak ketiga. Sedangkan dalam hal cessie ternyata dalam praktek, ada yang dipergunakan sebagai jaminan
dengan memakai konstruksi hukum fiducia. Mengenai tanggung jawab, pada gadai piutang atas nama pada prinsipnya dibebankan kepada pemberi gadai, dan pada cessie sebagai jaminan yang. Bertanggungjawab adalah cedent. Tetapi ada
pendapat yang berbeda dari badan peradilan di mana pada kasus yang akan diuraikan dalam skripsi ini, Pengadilan Negeri berpendapat bahwa yang bertanggungjawab dalam terjadinya wanprestasi adalah pihak cedent dan cessus,
sedangkan pendapat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, yang harus bertanggungjawab adalah cessus. Oleh karena itu maka peraturan mengenai lembaga jaminan piutang atas nama ini, perlu diperbaiki dan diganti dengan peraturan yang baru, yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat dewasa ini.