Jumlah dan pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini masih merupakan angka yang berbahaya bagi suatu negara berkembang. Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah antara lain mengambil kebijaksanaan yang berusaha menekan angka kelahiran serendah mungkin melalui Program (Gerakan) Keluarga Berencana. Dalam pelaksanaan Keluarga Berencana digunakan bermacam alat kontrasepsi, yang satu diantaranya merupakan kontrasepsi efektif, yaitu kontrasepsi mantap, dilakukannya dengan metode operasi, bersifat relatif permanen, serta dapat menimbulkan efek samping pada waktu pemasangannya . Dibandingkan kontrasepsi mantap untuk pria (vasektomi), maka yang lebih banyak dipilih di Indonesia adalah kontrasepsi mantap wanita (tubektomi), dengan perbandingan 6:1. Dalam pemasangan alat kontrasepsi jenis ini, sudah ada standar-standar baku yang ditetapkan oleh Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia (PKMI), sehingga dokter-dokter tertentu saja yang dapat melakukannya, dan harus sesuai dengan standar-standar medis tersebut. Kenyataannya saat ini banyak terjadi kasus-kasus yang merupakan keadaan yang tidak diinginkan dari pemasangan alat kontrasepsi mantap, walaupun tidak sampai diajukan ke Pengadilan. Namun dengan makin meningkatnya kesadaran hukum pada masyarakat, maka makin meningkat pula kesadaran masyarakat tersebut akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu sudah saatnya bagi para dokter untuk benar-benar memperhatikan persyaratan yang ditetapkan dan terutama mengingat pada dasar-dasar hukum dalam hubungan pasien-dokter, dan pada informed consent agar masing-masing pihak merasakan adanya perlindungan hukum. Kesalahan yang terjadi dimungkinkan karena tiga hal keadaan kelalaian, yaitu 1). dokter tidak memenuhi standar, 2) dokter memenuhi standar, akseptor tidak, 3) dokter dan akseptor memenuhi standar (resiko medis). Menurut penulis, dengan memperhatikan kondisi yang ada, maka secara hukum perdata tidak semua kerugian selalu dapat diminta pertanggungjawabannya pada dokter, melainkan harus dilihat penyebabnya : apakah dokter, akseptor, atau keadaan diluar dokter dan akseptor yang bersangkutan. Kerugian yang ditimbulkan karena dokter tidak memenuhi standar medis yang telah ditetapkan, dapat diminta pertanggungjawabannya sebagai perbuatan melanggar hukum, yang didasarkan pada pasal 1365 K.U.H.Perdata.